Meski belum ada bukti-bukti yang
meyakinkan mengenai tahun awal keberadaannya, pesantren diperkirakan
tersebar di pelbagai tempat semenjak meluasnya dakwah sembilan ulama
sufi atau yang biasa dikenal sebagai Wali Songo pada abad ke-15 M
(Shihab: 2001,221). Hal ini seiring dengan munculnya kerajaan-kerajaan
Islam di tanah Jawa yang lambat laun mengambil alih pengaruh kekuatan
Hindu-Budha yang cenderung merosot akibat jatuhnya kerajaan Majapahit.
Proses peralihan kekuasaan dari Majapahit ke Mataram ini menjadi faktor
penting proses Islamisasi di Jawa. Bahkan, sebagaimana diungkapkan
Soebardi, jauh sebelum wilayah pesisir Jawa dikuasai Belanda, lembaga
keagamaan ini telah dikenal dengan baik di pedesaan Jawa. Lebih jauh
Soebardi menuturkan bahwa lembaga keagamaan ini telah muncul pada masa
Jawa lama (past Javanese). Ini terbukti dengan konversi besar-besaran
yang dilakukanasketis terkemuka (guru) Hindu-Budha kepada agama Islam.
Adalah Denys Lombard menegaskan bahwa
bahwa pesantren merupakan lembaga asli nusantara, bukan lembaga impor
sebagaimana diduga sebagian kalangan. Pesantren sesungguhnya merupakan
kesinambungan (continuity) dan modifikasi dari suatu lembaga yang hadir
sebelumnya. Untuk mengukuhkan tesisnya, Lombard menjelaskan bahwa di
Jawa kuno, terutama masyarakat bagian timur pulau itu, terdapat jenis
lembaga pertapaan para resi. Lembaga-lembaga ini dikenal dengan nama dharma, mandala, atau pertapaan, dan lembaga-lembaga tersebut ternyata memiliki kemiripan dengan struktur pesantren.
Sedikitnya ada tiga persamaan mendasar. Pertama,
lokasinya yang jauh dari keramaian dan dari pusat kekuasaan politik.
Dalam sejarahnya, pesantren didirikan di daerah pedalaman. Di samping
untuk membentengi diri dari panetrasi ‘asing’, pesantren didirikan di
wilayah pedalaman untuk semakin mengkonsentrasikan dirinya dalam
menggali ilmu pengetahuan. Baik santri maupun petapa membutuhkan
ketenangan untuk merenungi kediriannya. Termasuk juga konsolidasi
politik dalam melawan penjajahan. Meskipun steril dari kepentingan pusat
kekuasaan politik, pesantren memiliki komitmen politik melawan
penjajahan. Begitulah sejarah pesantren di era kolonialisme.
Kedua, jalinan yang begitu erat
antara murid dan guru, santri dan kiai. Jalinan semacam ini sebenarnya
sudah tampak sebagai ikatan pokok pada zaman kerajaan Hindu-Jawa. Dalam
perkembangannya, jalinan semacam ini oleh lembaga tarekat diperkenalkan
hingga pada tingkat pesantren. Ini disebabkan, seringkali kiai sebuah
pesantren merangkap sebagai syekh tarekat tertentu. Kiai-kiai,
sebagaimana syekh-syekh tarekat, mengajarkan latihan-latihan tertentu
dan bimbingan spiritual, dan pada saat yang sama santri, sebagai
imbalannya, menghormati dan mematuhinya. Hubungan-hubungan khusus
semacam ini tetap berlanjut meskipun sang santri itu telah tamat
menyelesaikan pendidikan dan latihannya di lembaga tersebut dan kembali
ke habitatnya semula.
Ketiga, sebagai konsekuensi
dari persamaan kedua adalah terawatnya kontak dan jalinan antar dharma,
demikian juga jalinan antar pesantren (antar kyai), serta kebiasaan
berkelana untuk melakukan pencarian rohani dan intelektual dari satu
pusat ke pusat lainnya. Corak kelana dalam dalam pencarian ini menemukan
landasan normatifnya, baik dalam kitab suci (At-Tawbah [9]: 122) maupun
sunnah nabi. Di antara hadis yang populer di kalangan pesantren adalah
kewajiban mencari ilmu dari buaian hingga liang lahat, di
samping kewajiban mencari ilmu walaupun ke negeri Cina. Pesan-pesan
normatif semacam ini cukup memberi stimulus pada seseorang untuk
senantiasa mengembara dari satu pusat ke pusat lainnya untuk mematangkan
dan memantapkan keilmuannya. Dengan pola pertualangan dan pengembaraan
semacam ini, yang menjadi ciri utama pesantren, telah menyumbangkan
adanya kesatuan sistem pendidikan pesantren (Zuhri, 1972, 107). Selain
itu, pola terakhir ini semakin diperkuat dengan adanya tradisi di
kalangan pesantren untuk mewariskan tongkat kepemimpinannya pada
keluarga terdekat ditambah lagi dengan adanya jaringan aliansi
pernikahan antara keluarga kiai serta pengembangan transmisi pengetahuan
dan transmisi intelektual antarsesama kiai dan keluarganya. Dengan cara
inilah kontak dan jalinan antarpesantren bisa terawat dengan baik.
Jangkar Islam Nusantara
Karena wataknya yang sufistik, Islam
datang dan mudah menyebar di Nusantara. Diduga karena wataknya yang
sufistis inilah Islamisasi di Nusantara, khususnya Jawa, tidak terlalu
banyak menimbulkan ketegangan dengan unsuresoteris pribumi yang
mewarisi tradisi lama Hindu dan Budha. Bahkan dapat dikatakan bahwa
periode penyebaran Islam awal ini lebih berorientasi pada Islamisasi
unsur mistik dari pada pemurnian akidah yang ketat dan pengenalan
syari’ah. Terlebih lagi Islam masuk ke Jawa ketika sufisme sudah begitu
kuat dipengaruhi kitab Ihya’ Ulumiddin-nya Al-Ghazali. Besarnya
peran ulama sufi di balik proses penyebaran pesantren pada babakan awal
sejarahnya tentu saja membawa konsekuensi kultural tersendiri. Paling
tidak, praktik-praktik keagamaan yang dijalankan serta olah intelektual
yang diintrodusir di dalamnya sulit dilepaskan dari pengaruh tradisi
tasawuf yang merupakan wajah dominan Islam sebelumnya.
Sebagaimana penuturan Alwi Shihab, Wali
Songo adalah pengamal ajaran tasawuf, yang garis nasab dan akar jaringan
keilmuannya dapat dilacak pada generasi awal kaum Asyraf atau ‘Alawi di
Nusantara, yaitu para keturunan Imam Ahmad Al-Muhajir dari Hadramaut,
yang merupakan pengikut mazhab Syafi’i di bidang fikih serta penganut
konsep sufisme Al-Ghazali. Dengan kata lain, unsur tasawuf pada
gilirannya menjadi bagian dari realitas kehidupan pesantren yang tak
terbantahkan, yang lambat laun semakin sulit dihindari keterlibatannya
dalam pembentukan karakter keagamaan lembaga pendidikan tradisional
Islam ini.
Abdurrahman Wahid dengan sangat tepat
menggambarkan akar-akar keilmuan pesantren sehingga membentuk sebuah
genre tersendiri. Kuatnya genre fiqh sufistik, demikian dia
mengistilahkan, di awal masuknya Islam misalnya, di satu pihak dan genre
“fiqh murni” pada babakan selanjutnya di pihak lain yang
mewarnai keilmuan pesantren hingga kini dapat dilacak pada awal masuknya
Islam ke Nusantara, bahkan jauh sebelumnya. Setidaknya ada dua
gelombang keilmuan yang membentuk tradisi dan genre keilmuan Islam di
pesantren. Gelombang pertama terjadi bersamaan dengan masuknya Islam ke
Nusantara pada abad ke-13 Masehi. Pada gelombang pertama ini, corak
keilmuan Islam hadir dalam bentuk tasawuf. Tentu saja tasawuf yang
diusungnya tidak lepas dari rambu-rambu syari’ah. Masuknya Islam ke
Nusantara pada masa itu sudah membawa bentuk sebagaimana dikembangkan di
Persia dan anak Benua India yang memang bernuansa sufistik.
Demikianlah, kita jumpai bahwa tasawuf menjadi orientasi keilmuan
pesantren yang dominan saat itu. Buku-buku yang menggabungkan antara
tasawuf dan fikih menjadi materi pelajaran yang utama. Sebut saja
misalnya Ihya Ulumuddin dan Bidayatul Hidayah karya Al-Ghazali.
Berbeda dengan gelombang pertama,
gelombang kedua yang terjadi sekitar abad ke-19 melahirkan corak
keilmuan baru bagi tradisi keilmuan pesantren. Bermula dari dibukanya
lahan perkebunan tebu, kopi, dan tembakau di beberapa daerah ternyata
berhasil meningkatkan taraf kesejahteraan masyarakat. Meningkatnya
akumulasi kekayaan masyarakat inilah mendorong sebagian mereka untuk
mengirimkan anak-anaknya untuk belajar ke Timur Tengah. Pada saat yang
sama, dibukanya terusan Suez pada tahun 1869 semakin memperlancar arus
transportasi ke negara tujuan. Demikianlah terjadilah massifikasi
pengiriman anak-anak muda untuk mendalami keilmuan keislaman di Mekah
yang akhirnya berhasil membentuk korp ulama yang demikian solid. Muncullah
nama-nama semisal Kyai Nawawi Banten, Kyai Mahfuz Tremas, Kyai Abdul
Gani Bima, Kyai Arsyad Banjarmasin, Kyai Abdus Shamad Palembang, Kyai
Khalil Bangkalan, Kyai Hasyim Asy’ari, dan sederet nama-nama lain hingga
saat ini. Mereka itu telah membawa warna baru bagi corak keilmuan
pesantren, yaitu pendalaman ilmu fiqih secara tuntas. Hal ini tampak
dari karya-karya mereka seperti Sabilal Muhtadin karya Arsyad Banjar, Nihayatuz Zein dan Uqudu Lujjain karya Nawawi Banten, dan semacamnya.
Dengan demikian, tradisi keilmuan
pesantren mewarisi dua kecenderungan dominan ini. Di satu pihak, nuansa
fiqh sufistik demikian kentara, dan di pihak lain pendalaman ilmu fiqh
tetap menjadi prioritas. Jangan heran apabila kita berkunjung ke
pesantren, dominasi buku-buku fiqh, di samping buku-buku tasawuf
mewarnai etalase perpustakaannya. Tentu saja, kita tidak menafikan
sejumlah kitab-kitab ilmu bantu, semisal ilmu bahasa Arab, Nahwu,
Sharraf, dan Balaghah yang juga memenuhi lemari perpustakaan.
Sementara itu, kuatnya kecenderungan pada mazhab Syafi’i dan Al-Ghazali tidak disangsikan lagi memperkuat nuansa ahlussunnah wal jama’ah yang
menjadi prinsip dasar keyakinan masyarakat pesantren. Keterikatan penuh
dengan tradisi fiqh di satu pihak, yang direpresantasikan dengan figur
imam madzab yang empat, khususnya Syafi’i (lebih tepatnya Syafi’iyyah)
dan tradisi tasawuf, terutama ajaran Al-Ghazali. di pihak lain
menunjukkan jalinan yang kuat dunia pesantren dengan Timur Tengah.
Di pihak lain, meningkatnya kuantitas
jamaah haji, di samping meningkatnya santri yang mendalami ilmu di Timur
Tengah, menjadi “sistem komunikasi” efektif antara umat Islam di
Nusantara dengan Timur Tengah. Sistem komunikasi ini terbangun baik
melalui jamaah haji atau santri yang belajar di Timur Tengah. Memang, di
pengujung abad ke-19 dan awal abad ke-20, jumlah jamaah haji Indonesia
meningkat mencapai 10 sampai 20 persen dari seluruh jamaah haji asing.
Meningkatnya jamaah haji ini dapat dipahami karena beberapa tahun
sebelumnya orang Indonesia tidak bisa melaksanakan ibadah haji akibat
proteksi yang dilakukan pemerintah Hindia Belanda, di samping juga
karena sulitnya arus transportasi.
Dengan demikian, keberadaan pesantren di
masa awalnya merupakan bagian integral dari medium dakwah Islam di
masyarakat melalui sarana dan metode yang tidak menghapus seluruh
sendi-sendi yang ada di masyarakat. Modifikasi-modifikasi tradisi dan
dikemas dengan nilai-nilai keislaman itulah yang menjadikan pesantren
sebagai lembaga pendidikan alternatif di masanya, bahkan hingga kini.
Sungguh tepat bila dikatakan bahwa pesantren merupakan jangkar
intelektual Islam Nusantara.
*Alumnus Pondok Pesantren Annuqayah Guluk-Guluk Sumenep Madura
(Ditulis Kembali oleh Yadi Suryadi)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar