Iklan

Selasa, 21 Oktober 2014

Cita-cita Tertinggi



Catatan Dr. Aidh Al Qarni 

Setelah Yusuf A.S. berhasil meraih kekuasaan, menyaksikan bukti mimpinya, berkumpul kembali bersama keluarganya dan menduduki jabatan yang tinggi dalam pemerintahan, ia tidak lupa untuk menyatakan keinginan dan cita-citanya yang teramat mulia. Ia berdoa kepada Allah SWT, “Wafatkanlah aku dalam keadaan Islam dan gabungkanlah aku dengan orang-orang yang saleh.” (QS. Yusuf: 101) Sungguh sebuah keinginan yang sangat mulia yang didambakan oleh seorang yang berakal cerdas, sebuah harapan yang teramat luhur yang diinginkan oleh seorang hamba yang saleh dan sadar.

Masalah akhir perjalanan hidup merupakan masalah besar. Ia menyangkut hasil perjuangan dan usaha yang dilakukan sepanjang hayat. Ia menentukan tempat kembali dan balasan seseorang di akhirat. Mati dalam keadaan Islam dan digabungkan bersama orang-orang yang saleh bukanlah perkara mudah. Seseorang bisa saja mendapatkan segala keinginannya sewaktu di dunia, tapi kemudian ia mati tidak dalam keadaan Islam. Bisa saja ia meraih jabatan tinggi, harta berlimpah, istri cantik dan tempat tinggal megah, tapi ia mati tidak dalam keadaan Islam. Seseorang bisa saja meraih popularitas, kecerdasan, pengaruh yang sangat besar dan pengikut sangat banyak, tapi kemudian mati tidak dalam keadaan Islam. Jika seseorang mati tidak dalam keadaan Islam, maka harta, kedudukan, jabatan, kekuasaan, persahabatan dan apapun tidak dapat menolongnya.
Dari sini keinginan dan cita-cita Yusuf A.S. untuk wafat dalam keadaan Islam dan digabungkan bersama orang-orang yang saleh merupakan keinginan dan harapan yang paling agung diantara keinginan dan harapan yang dimiliki siapapun. Orang-orang jahat boleh mendapatkan apa yang mereka inginkan, orang-orang sesat dapat meraih apa yang mereka impikan, tetapi dalam daftar keinginan dan dambaan mereka tidak ada cita-cita untuk mati dalam keadaan Islam. Diantara mereka ada yang menghabiskan umurnya dengan kesenian dan menemukan kepuasannya dalam bidang itu. Ada juga yang “dingin”, lalai dan menghabiskan waktu-waktunya di depan televisi. Dan ada juga yang bodoh dan tergila-gila oleh dunia. Mereka itu sejatinya orang-orang mati, tidak mempunyai kehidupan dan tidak pernah peduli dalam keadaan bagaimana kelak mereka akan dibangkitkan.

Sumber: Kitab Hakadza Haddatsatana Al-zaman – Dr. Aidh Abdullah Al Qarni

Buku Jangan Kuliah Kalau Gak Sukses



Mengapa pada saat yang sama ada pelajar dan mahasiswa yang sukses, namun ada juga yang gagal? Bagaimana caranya menjadi pelajar dan mahasiswa yang bukan hanya sukses akademis namun juga sukses spiritual, emosional, finansial bahkan mendapatkan semua cita-citanya?
Buku yang mendapatkan sambutan antusias di kalangan akademisi, mahasiswa, juga institusi kampus dan sekolah, terbukti dari penjualan buku yang sudah mencapai 70.000 eksemplar dan telah memasuki cetakan ketujuh.

Setelah Anda membaca buku dan mengikuti traning ini, Anda akan mendapatkan inspirasi dan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan di bawah ini:

1. Bagaimana menjadi mahasiswa dan pelajar yang sukses akademis, tips   
    belajar di dunia kampus, serta cara ampuh menghadapi dosen atau guru?
2. Bagaimana menjadi pribadi yang meyakinkan dan berhasil mempengaruhi
    orang lain?
3. Rahasia mendapatkan penghasilan tanpa mengganggu kuliah
4. Bagaimana memanfaatkan potensi otak secara maksimal?
5. Bagaimana membuat life planning yang terukur dan teruji?
6. Rahasia ampuh dan teruji mendapatkan beasiswa dalam dan luar negeri
    plus pengalaman sukses para peraih beasiswa



Kisah Inspiratif dari Ustadz Cahyadi Takariawan



Saya pernah punya sahabat di Yogyakarta, seorang kakek tua penjual tape singkong keliling dengan sepeda kayuh.

Hampir setiap hari ia lewat di depan rumah kontrakan saya ketika masih hidup mengontrak di Kota Jogja sekitar tahun 2002 – 2005. Bahkan kakek tua ini sering berhenti berlama-lama di depan rumah kontrakan, sampai saya keluar dan membeli tapenya.

Saking seringnya bertemu, akhirnya kami menjadi sahabat. Pantasnya ia menjadi bapak saya, melihat usianya. Sampai saya sering mengunjungi rumahnya yang sangat sederhana di daerah Sleman.

Menilik kondisi rumahnya, penampilan dan usahanya, tampak kalau ia hidup dalam berbagai bentuk kesulitan. Rumahnya berdinding anyaman bambu, dengan genting kuno yang kecil ukurannya, serta lantai dari tanah tanpa ada tembok semen sama sekali.

Jika musim hujan, selalu tiris, air masuk ke dalam rumahnya, dan membuat lantai rumahnya ditumbuhi rumput karena kerap tersiram air hujan.

Di rumahnya tidak ada motor. Hanya ada satu sepeda kayuh yang ia gunakan untuk jualan tape keliling Kota Jogja.

Yang sangat mengagumkan bagi saya, ia lebih sering bercerita tentang kebahagiaan hidupnya sebagai penjual tape. Bukan bercerita tentang kegetiran hidup yang dialami.

Mungkin karena kegetiran itu sudah dirasakan setiap hari, maka menjadi tidak berasa lagi baginya. Yang lebih ia rasakan adalah kegembiraan, maka itu yang selalu diceritakan.

Ia selalu antusias menceritakan kegembiraan yang dirasakan ketika ada “orang-orang penting” membeli tape singkongnya, bahkan selalu mengulang cerita tentang seorang dokter yang berlangganan membeli tapenya.

Contoh kegembiraanya seperti ini.

“Yang membeli tape saya itu orangnya bermobil. Mobil mereka bagus-bagus”, cerita sang kakek dengan wajah berbinar-binar saking bahagianya.

Saya bayangkan, mereka yang punya mobil belum tentu sebahagia kakek itu. Namun kakek yang tidak punya mobil, justru merasakan kebahagiaan yang tidak didapatkan oleh para pemilik mobil.

Begitulah cara ia menikmati hidup. Barangkali ia ingin berpesan, hidup itu terlalu indah untuk dikesali. Nikmati saja semua problematika dalam kehidupan, agar kita selalu bahagia walau penuh dengan keterbatasan.

Kisah diambil dari status di fanpage Ustadz Cahyadi Takariawan, Yogyakarta
https://www.facebook.com/cahyadi.takariawan

5 Must-Match Areas for a Happy Relationship

It's like walking into a candy store. Every eye color, profession, height, geography, spirituality, sense of humor and passion wait for you when you log in to the site. In a way, it's a fantasy coming true – all you have to do is choose.
There's no longer a need to go out to a pub or the library and hope your perfect one walks through the door. You can decide in detail who to search for, up to the size of her or his shoe.
Yet once you meet away from the screen, reality sets in. How can you know if your date's a good fit?

1) Values

We all have guideposts to help us move through life and create a path we can be proud of and happy about. Consider which values are non-negotiable and which have wiggle room.
Some vegetarians, for example, lead happy lives with carnivores while others wouldn't go out on a date with them. Similarly, if you and your date have conflicting religious or political believes, you might face additional challenges. It doesn't mean the relationship won't work, yet it's definitely something to consider.

2) Sense of Humor

A sense of humor is one of the more diverse traits humanity has. People find different things funny and they bring up humor at all kinds of times.
A sense of humor can reflect how a person lives her or his life, how they treat others and themselves and what they value, so pay attention to your partner's sense of humor and to how she or he responds to yours.

3) The Way You Express Love

Some people like to talk and others like to show. Some view expressing love as buying each other elaborate gifts while others prefer simple, daily gestures. Some are romantics and others mix love with cynicism. Some goof around all the time and others need serious moments.
Think of how you'd like to express your love for your partner and how you'd like your partner to express love for you. You could teach each other how to treat you, but don't go into a relationship hoping you'll change them down the line.

4) Your Goals and Dreams

Whether you want to have kids, where you want to live and how much money you're comfortable having are just the beginning. Are you career-driven and your partner is not? Do you love the thrill of entrepreneurship while they need the security of a regular job? Are you all about self-growth and they don't deal well with change? Do you want to travel the world and live a nomadic lifestyle and your partner prefers the community that comes with setting roots?
You don't need to have identical goals and dreams for the relationship to last – and compromise is part of any relationship – yet consider in advance what you're willing to compromise and what you can't live without.

5) Your Relationships With Yourselves

How much you love yourself and invest in your own life is how much you'll be truly emotionally available to love another. Don't look to be someone's better half, but your own full person building a richer life with another full person.
Create a healthy relationship with your body, your mind and your soul, and choose someone who's creating a healthy relationship with her or himself. That's ingredient number one for a healthy relationship with each other.


Selasa, 14 Oktober 2014

Buku Lentera Muslimah

Lentera Muslimah (Setitik Cahaya untuk Bertumbuh, Berkarya, Bersama)
  • Jumlah halaman : 118
  • Ukuran : A5
Sebuah inspirasi yang keluar dari hati sang penulis, dipersembahkan bagi para pembaca yang ingin merealisasikan karya-karyanya dan mengispirasi dalam ketaatan kepada-Nya. Sebagian kisah diadopsi dari kisah-kisah nyata para pemberi inspirasi dalam hidup. Tentang setitik cahaya untuk mengubah kegelapan menjadi terang benderang. Mengajak para muslimah untuk bertumbuh, berkarya, bersama.

Berminat??? hubungi 0812 1374 9614 or 0877 7283 8640

http://goo.gl/g7j7GW

Insan Muda Emas

Training”Insan Muda Emas” diadopsi dari buku yang saat laris dikalangan pemuda baik pelajar atau mahasiswa yaitu buku "Insan Muda Emas" (Sembilan Keajaiban Dahsyat Menjadi Pelajar atau Mahasiswa Sukses dan Bahagia)
Training ini merupakan revolusi dari pelatihan–pelatihan yang pernah ada, mengunakan metoda-metoda  yang teruji dan terbukti, dikemas dalam bentuk persembahan yang menghibur membuat peserta semakin tertarik dengan materi yang disampaikan.

Training ini didukung dengan multimedia yang canggih menggunakan music, simulasi, games, ice breaking, trance magic, tata cahaya dan cerita-cerita hikmah. Motivasi yang menggugah hati, membangkitkan potensi potensi DAHSYAT, mengeluarkan bakat yang tersembunyi, membakar semangat yang menggebu, menyentuh hati dan pikiran, meningkatkan kecerdasan spiritual emosional intelektual untuk SUKSES dan BAHAGIA.

Alhamdulillah sampai saat ini alumni trainingnya sudah hampir 100.000 peserta yang tersebar diberbagai kota di Indonesia.
Durasi Training:
Training dan bedah buku “Insan Muda Emas” ini dapat dilaksanakan selama 4 jam atau 8 jam. Waktu pelaksanaan, hari maupun jam pelaksanaannya dapat disesuaikan.
Target peserta:

Dahsyatnya manfaat training dan bedah buku “Insan Muda Emas” ini dapat dirasakan oleh barbagai kalangan mulai dari SMA, universitas dan lembaga- lembaga pemerintahan di seluruh Indonesia. Jumlah peserta dalam satu kali pertemuan minimal 100 orang sampai ribuan orang.
Bagi sahabat yang tertarik mengadakan training "Insan Muda Emas" di Sekolah, di Kampus atau Di Kota-kota Sahabat, silakan dapat menghubungi no. 08597 4000 500 (Manajemen)

Semoga bermanfaat...
Salam Insan Muda Emas,


Senin, 06 Oktober 2014

Hari Raya Idul Qurban (Kisah Nabi Ibrahim.AS dan Nabi Ismail. AS)

Pada suatu hari, Nabi Ibrahim AS menyembelih kurban fisabilillah berupa 1.000 ekor domba, 300 ekor sapi, dan 100 ekor unta. Banyak orang mengaguminya, bahkan para malaikat pun terkagum-kagum atas kurbannya.

“Kurban sejumlah itu bagiku belum apa-apa. Demi Allah! Seandainya aku memiliki anak lelaki, pasti akan aku sembelih karena Allah dan aku kurbankan kepada-Nya,” kata Nabi Ibrahim AS, sebagai ungkapan karena Sarah, istri Nabi Ibrahim belum juga mengandung.

Kemudian Sarah menyarankan Ibrahim agar menikahi Hajar, budaknya yang negro, yang diperoleh dari Mesir. Ketika berada di daerah Baitul Maqdis, beliau berdoa kepada Allah SWT agar dikaruniai seorang anak, dan doa beliau dikabulkan Allah SWT. Ada yang mengatakan saat itu usia Ibrahim mencapai 99 tahun. Dan karena demikian lamanya maka anak itu diberi nama Isma'il, artinya "Allah telah mendengar". Sebagai ungkapan kegembiraan karena akhirnya memiliki putra, seolah Ibrahim berseru: "Allah mendengar doaku".

Ketika usia Ismail menginjak kira-kira 7 tahun (ada pula yang berpendapat 13 tahun), pada malam tarwiyah, hari ke-8 di bulan Dzulhijjah, Nabi Ibrahim AS bermimpi ada seruan, “Hai Ibrahim! Penuhilah nazarmu (janjimu).”

Pagi harinya, beliau pun berpikir dan merenungkan arti mimpinya semalam. Apakah mimpi itu dari Allah SWT atau dari setan? Dari sinilah kemudian tanggal 8 Dzulhijah disebut sebagai hari tarwiyah (artinya, berpikir/merenung).

Pada malam ke-9 di bulan Dzulhijjah, beliau bermimpi sama dengan sebelumnya. Pagi harinya, beliau tahu dengan yakin mimpinya itu berasal dari Allah SWT. Dari sinilah hari ke-9 Dzulhijjah disebut dengan hari ‘Arafah (artinya mengetahui), dan bertepatan pula waktu itu beliau sedang berada di tanah Arafah.

Malam berikutnya lagi, beliau mimpi lagi dengan mimpi yang serupa. Maka, keesokan harinya, beliau bertekad untuk melaksanakan nazarnya (janjinya) itu. Karena itulah, hari itu disebut denga hari menyembelih kurban (yaumun nahr). Dalam riwayat lain dijelaskan, ketika Nabi Ibrahim AS bermimpi untuk yang pertama kalinya, maka beliau memilih domba-domba gemuk, sejumlah 100 ekor untuk disembelih sebagai kurban. Tiba-tiba api datang menyantapnya. Beliau mengira bahwa perintah dalam mimpi sudah terpenuhi. Untuk mimpi yang kedua kalinya, beliau memilih unta-unta gemuk sejumlah 100 ekor untuk disembelih sebagai kurban. Tiba-tiba api datang menyantapnya, dan beliau mengira perintah dalam mimpinya itu telah terpenuhi.

Pada mimpi untuk ketiga kalinya, seolah-olah ada yang menyeru, “Sesungguhnya Allah SWT memerintahkanmu agar menyembelih putramu, Ismail.” Beliau terbangun seketika, langsung memeluk Ismail dan menangis hingga waktu Shubuh tiba. Untuk melaksanakan perintah Allah SWT tersebut, beliau menemui istrinya terlebih dahulu, Hajar (ibu Ismail). Beliau berkata, “Dandanilah putramu dengan pakaian yang paling bagus, sebab ia akan kuajak untuk bertamu kepada Allah.” Hajar pun segera mendandani Ismail dengan pakaian paling bagus serta meminyaki dan menyisir rambutnya.

Kemudian beliau bersama putranya berangkat menuju ke suatu lembah di daerah Mina dengan membawa tali dan sebilah pedang. Pada saat itu, Iblis terkutuk sangat luar biasa sibuknya dan belum pernah sesibuk itu. Mondar-mandir ke sana ke mari. Ismail yang melihatnya segera mendekati ayahnya.

“Hai Ibrahim! Tidakkah kau perhatikan anakmu yang tampan dan lucu itu?” seru Iblis.

“Benar, namun aku diperintahkan untuk itu (menyembelihnya),” jawab Nabi Ibrahim AS.

Setelah gagal membujuk ayahnya, Iblsi pun datang menemui ibunya, Hajar. “Mengapa kau hanya duduk-duduk tenang saja, padahal suamimu membawa anakmu untuk disembelih?” goda Iblis.

“Kau jangan berdusta padaku, mana mungkin seorang ayah membunuh anaknya?” jawab Hajar.

“Mengapa ia membawa tali dan sebilah pedang, kalau bukan untuk menyembelih putranya?” rayu Iblis lagi.

“Untuk apa seorang ayah membunuh anaknya?” jawab Hajar balik bertanya.

“Ia menyangka bahwa Allah memerintahkannya untuk itu”, goda Iblis meyakinkannya.

“Seorang Nabi tidak akan ditugasi untuk berbuat kebatilan. Seandainya itu benar, nyawaku sendiri pun siap dikorbankan demi tugasnya yang mulia itu, apalagi hanya dengan mengurbankan nyawa anaku, hal itu belum berarti apa-apa!” jawab Hajar dengan mantap.

Iblis gagal untuk kedua kalinya, namun ia tetap berusaha untuk menggagalkan upaya penyembelihan Ismail itu. Maka, ia pun menghampiri Ismail seraya membujuknya, “Hai Isma’il! Mengapa kau hanya bermain-main dan bersenang-senang saja, padahal ayahmu mengajakmu ketempat ini hanya untk menyembelihmu. Lihat, ia membawa tali dan sebilah pedang,”

“Kau dusta, memangnya kenapa ayah harus menyembelih diriku?” jawab Ismail dengan heran. “Ayahmu menyangka bahwa Allah memerintahkannya untuk itu” kata Iblis meyakinkannya.

“Demi perintah Allah! Aku siap mendengar, patuh, dan melaksanakan dengan sepenuh jiwa ragaku,” jawab Ismail dengan mantap.

Ketika Iblis hendak merayu dan menggodanya dengan kata-kata lain, mendadak Ismail memungut sejumlah kerikil ditanah, dan langsung melemparkannya ke arah Iblis hingga butalah matanya sebelah kiri. Maka, Iblis pun pergi dengan tangan hampa. Dari sinilah kemudian dikenal dengan kewajiban untuk melempar kerikil (jumrah) dalam ritual ibadah haji.

Sesampainya di Mina, Nabi Ibrahim AS berterus terang kepada putranya, “Wahai anakku! Sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah apa pendapatmu?…” (QS. Ash-Shâffât, [37]: 102).

“Ia (Ismail) menjawab, ‘Hai bapakku! Kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu, Insya Allah! Kamu mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar” (QS. Ash-Shâffât, [37]: 102).

Mendengar jawaban putranya, legalah Nabi Ibrahim AS dan langsung ber-tahmid (mengucapkan Alhamdulillâh) sebanyak-banyaknya.

Untuk melaksanakan tugas ayahnya itu Ismail berpesan kepada ayahnya, “Wahai ayahanda! Ikatlah tanganku agar aku tidak bergerak-gerak sehingga merepotkan. Telungkupkanlah wajahku agar tidak terlihat oleh ayah, sehingga tidak timbul rasa iba. Singsingkanlah lengan baju ayah agar tidak terkena percikan darah sedikitpun sehingga bisa mengurangi pahalaku, dan jika ibu melihatnya tentu akan turut berduka.”

“Tajamkanlah pedang dan goreskan segera dileherku ini agar lebih mudah dan cepat proses mautnya. Lalu bawalah pulang bajuku dan serahkan kepada agar ibu agar menjadi kenangan baginya, serta sampaikan pula salamku kepadanya dengan berkata, ‘Wahai ibu! Bersabarlah dalam melaksanakan perintah Allah.’ Terakhir, janganlah ayah mengajak anak-anak lain ke rumah ibu sehingga ibu sehingga semakin menambah belasungkawa padaku, dan ketika ayah melihat anak lain yang sebaya denganku, janganlah dipandang seksama sehingga menimbulka rasa sedih di hati ayah,” sambung Isma'il.

Setelah mendengar pesan-pesan putranya itu, Nabi Ibrahim AS menjawab, “Sebaik-baik kawan dalam melaksanakan perintah Allah SWT adalah kau, wahai putraku tercinta!”

Kemudian Nabi Ibrahim as menggoreskan pedangnya sekuat tenaga ke bagian leher putranya yang telah diikat tangan dan kakinya, namun beliau tak mampu menggoresnya.

Ismail berkata, “Wahai ayahanda! Lepaskan tali pengikat tangan dan kakiku ini agar aku tidak dinilai terpaksa dalam menjalankan perintah-Nya. Goreskan lagi ke leherku agar para malaikat megetahui bahwa diriku taat kepada Allah SWT dalam menjalan perintah semata-mata karena-Nya.”

Nabi Ibrahim as melepaskan ikatan tangan dan kaki putranya, lalu beliau hadapkan wajah anaknya ke bumi dan langsung menggoreskan pedangnya ke leher putranya dengan sekuat tenaganya, namun beliau masih juga tak mampu melakukannya karena pedangnya selalu terpental. Tak puas dengan kemampuanya, beliau menghujamkan pedangnya kearah sebuah batu, dan batu itu pun terbelah menjadi dua bagian. “Hai pedang! Kau dapat membelah batu, tapi mengapa kau tak mampu menembus daging?” gerutu beliau.

Atas izin Allah SWT, pedang menjawab, “Hai Ibrahim! Kau menghendaki untuk menyembelih, sedangkan Allah penguasa semesta alam berfirman, ‘jangan disembelih’. Jika begitu, kenapa aku harus menentang perintah Allah?”

Allah SWT berfirman, “Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata (bagimu). Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar.” (QS. Ash-Shâffât, [37]: 106)

Menurut satu riwayat, bahwa Ismail diganti dengan seekor domba kibas yang dulu pernah dikurbankan oleh Habil dan selama itu domba itu hidup di surga. Malaikat Jibril datang membawa domba kibas itu dan ia masih sempat melihat Nabi Ibrahim AS menggoreskan pedangnya ke leher putranya. Dan pada saat itu juga semesta alam beserta seluruh isinya ber-takbir (Allâhu Akbar) mengagungkan kebesaran Allah SWT atas kesabaran kedua umat-Nya dalam menjalankan perintahnya. Melihat itu, malaikai Jibril terkagum-kagum lantas mengagungkan asma Allah, “Allâhu Akbar, Allâhu Akbar, Allâhu Akbar”. Nabi Ibrahim AS menyahut, “Lâ Ilâha Illallâhu wallâhu Akbar”. Ismail mengikutinya, “Allâhu Akbar wa lillâhil hamd”. Kemudian bacaan-bacaan tersebut dibaca pada setiap hari raya kurban (Idul Adha).

Sumber: Nasiruddin, S.Ag, MM, 2007, Kisah Orang-Orang Sabar, Republika, Jakarta
dengan beberapa perubahan

Kamis, 02 Oktober 2014

Apa Salahnya Menangis?


 Apa salahnya menangis, jika memang dengan menangis itu manusia menjadi sadar. Sadar akan kelemahan-kelemahan dirinya, saat tiada lagi yang sanggup menolongnya dari keterpurukan selain Allah Swt. Kesadaran yang membawa manfaat dunia dan akhirat. Bukankah kondisi hati manusia tiada pernah stabil? Selalu berbolak balik menuruti keadaan yang dihadapinya. Ketika seseorang menghadapi kebahagiaan maka hatinya akan gembira dan saat dilanda musibah tidak sedikit orang yang putus asa bahkan berpaling dari kebenaran.
Sebagian orang menganggap menangis itu adalah hal yang hina, ia merupakan tanda lemahnya seseorang. Bangsa Yahudi selalu mengecam cengeng ketika anaknya menangis dan dikatakan tidak akan mampu melawan musuh-musuhnya. Para orang tua di Jepang akan memarahi anaknya jika mereka menangis karena dianggap tidak tegar menghadapi hidup. Menangis adalah hal yang hanya dilakukan oleh mereka yang tidak mempunyai prinsip hidup.
Bagi seorang muslim yang mukmin, menangis merupakan buah kelembutan hati dan pertanda kepekaan jiwanya terhadap berbagai peristiwa yang menimpa dirinya maupun umatnya. Rasulullah Saw meneteskan air matanya ketika ditinggal mati oleh anaknya, Ibrahim. Abu Bakar Ashshiddiq ra digelari oleh anaknya Aisyah ra sebagai Rojulun Bakiy (Orang yang selalu menangis).
Beliau senantiasa menangis, dadanya bergolak manakala sholat dibelakang Rasulullah Saw karena mendengar ayat-ayat Allah. Abdullah bin Umar suatu ketika melewati sebuah rumah yang di dalamnya ada sesorang sedang membaca Al Qur’an, ketika sampai pada ayat: “Hari (ketika) manusia berdiri menghadap Tuhan semesta alam” (QS. Al Muthaffifin: 6). Pada saat itu juga beliau diam berdiri tegak dan merasakan betapa dirinya seakan-akan sedang menghadap Robbnya, kemudian beliau menangis. Lihatlah betapa Rasulullah Saw dan para sahabatnya benar-benar memahami dan merasakan getaran-getaran keimanan dalam jiwa mereka. Lembutnya hati mengantarkan mereka kepada derajat hamba Allah yang peka.
Bukankah diantara tujuh golongan manusia yang akan mendapatkan naungan pada hari dimana tiada naungan kecuali naungan Allah adalah orang yang berdoa kepada Robbnya dalam kesendirian kemudian dia meneteskan air mata? Tentunya begitu sulit meneteskan air mata saat berdo'a sendirian jika hati seseorang tidak lembut. Yang biasa dilakukan manusia dalam kesendiriannya justru maksiat. Bahkan tidak sedikit manusia yang bermaksiat saat sendiri di dalam kamarnya seorang mukmin sejati akan menangis dalam kesendirian dikala berdo'a kepada Tuhannya. Sadar betapa berat tugas hidup yang harus diembannya di dunia ini.
Di zaman ketika manusia lalai dalam gemerlap dunia, seorang mukmin akan senantiasa menjaga diri dan hatinya. Menjaga kelembutan dan kepekaan jiwanya. Dia akan mudah meneteskan air mata demi melihat kehancuran umatnya. Kesedihannya begitu mendalam dan perhatiannya terhadap umat menjadikannya orang yang tanggap terhadap permasalahan umat. Kita tidak akan melihat seorang mukmin bersenang-senang dan bersuka ria ketika tetangganya mengalami kesedihan, ditimpa berbagai ujian, cobaan, dan fitnah. Mukmin yang sesungguhnya akan dengan sigap membantu meringankan segala beban saudaranya. Ketika seorang mukmin tidak mampu menolong dengan tenaga ataupun harta, dia akan berdoa memohon kepada Tuhan semesta alam.
Menangis merupakan sebuah bentuk pengakuan terhadap kebenaran. “Dan apabila mereka mendengarkan apa yang diturunkan kepada rasul (Muhammad), kamu lihat mata mereka mencucurkan air mata disebabkan kebenaran (Al Qur’an) yang telah mereka ketahui (dari kitab-kitab mereka sendiri) seraya berkata: “Ya Robb kami, kami telah beriman, maka catatlah kami bersama orang-orang yang menjadi saksi (atas kebenaran Al Qur’an dan kenabian Muhammad)”. (QS. Al Maidah: 83).
Ja’far bin Abdul Mutholib membacakan surat Maryam ayat ke-16 hingga 22 kepada seorang raja Nasrani yang bijak. Demi mendengar ayat-ayat Allah dibacakan, bercucuranlah air mata raja Habsyah itu. Ia mengakui benarnya kisah Maryam dalam ayat tersebut, ia telah mengenal kebenaran itu dan hatinya yang lembut menyebabkan matanya sembab kemudian menangis. Raja yang rindu akan kebenaran benar-benar merasakannya.
Orang yang keras hatinya, akan sulit menangis saat dibacakan ayat-ayat Allah. Bahkan ketika datang teguran dari Allah sekalipun ia justru akan tertawa atau malah berpaling dari kebenaran. Sehebat apapun bentuk penghormatan seorang tokoh munafik Abdullah bin Ubay bin Salul kepada Rasulullah Saw, sedikit pun tidak berpengaruh pada hatinya. Ia tidak peduli ketika Allah Swt mengecam keadaan mereka di akhirat nanti, “Sesungguhnya orang-orang munafik itu (ditempatkan) pada tingkatan neraka yang paling bawah. Dan kamu sekali-kali tidak akan mendapatkan seorang penolongpun bagi mereka”. (QS. An Nisa’: 145)
Barangkali di antara kita yang belum pernah menangis, maka menangislah disaat membaca Al Qur’an, menangislah ketika berdo'a di sepertiga malam terakhir, menangislah karena melihat kondisi umat yang terpuruk, atau tangisilah dirimu karena tidak bisa menangis ketika mendengar ayat-ayat Allah. Semoga hal demikian dapat melembutkan hati dan menjadi penyejuk serta penyubur iman dalam dada. Ingatlah hari ketika manusia banyak menangis dan sedikit tertawa karena dosa-dosa yang diperbuatnya selama di dunia. “Maka mereka sedikit tertawa dan banyak menangis, sebagai pembalasan dari apa yang selalu mereka kerjakan”. (QS At Taubah: 82).
Jadi apa salahnya menangis?.
Herman Susilo www.pr@ydsf.or.id

sumber : eramuslim