Fiqih
Pacaran
Ibnu Qayyim Al-Juziyah (atau Al-Jauziyyah)
sungguh menakjubkan. Inilah yang kami rasakan ketika membaca buku terjemahan
kitab beliau, Raudhatul Muhibbiin, yang berjudul Taman
Orang-orang Jatuh Cinta, terj. Bahrun AI Zubaidi, Lc (Bandung: Irsyad
Baitus Salam, 2006).
Bagaimana
tidak menakjubkan? Di buku setebal 930 halaman tersebut, orang yang jatuh cinta
ditawari “rahmat dan syafaat” (hlm. 715 dst.). Selain itu, beliau mengarahkan
pembaca untuk “menyeimbangkan dorongan hawa nafsu dan potensi akal” (hlm. 29
dst.). Hal-hal semacam ini jarang kami temui di buku-buku percintaan yang
pernah kami baca.
Memang,
sebagaimana ulama-ulama besar lainnya, beliau pun menekankan “cinta kepada
Allah” dan “cinta karena Allah” (hlm. 550). Namun, beliau ternyata juga
membicarakan fenomena “pacaran islami”, suatu topik sensitif yang sering
dihindari banyak ulama. Beliau mengungkapkannya (bersama-sama dengan persoalan
lain yang relevan) di sub-bab “Berbagai hadits, atsar, dan riwayat yang
menceritakan keutamaan memelihara kesucian diri” dan “Cinta yang suci tetap
menjadi kebanggaan” (hlm. 607-665).
Di situ, kami jumpai istilah “pacaran” muncul tujuh kali,
yaitu di halaman 617, 621 (lima kali), dan 658. Adapun istilah-istilah lain
yang menunjukkan keberadaan aktivitas tersebut adalah “bercinta” (hlm. 650),
“gayung bersambut” (hlm. 613), “saling mengutarakan rasa cinta” (hlm. 620-621),
“mengapeli” (hlm. 642-643), “berdekatan” (hlm. 617), dan sebagainya.
Sekurang-kurangnya, kami jumpai ada sembilan contoh praktek
pacaran islami yang diceritakan oleh Ibnu Qayyim di situ. Dari contoh-contoh
itu, dan dari keterangan beliau di buku tersebut, kami berusaha mengenali ciri
khas “pacaran islami” ala Raudhatul Muhibbiin. Ini dia tujuh
diantaranya:
1. mengutamakan
akhirat
2. mencintai
karena Allah
3. membutuhkan
pengawasan Allah dan orang lain
4. menyimak
kata-kata yang makruf
5. tidak
menyentuh sang pacar
6. menjaga
pandangan
7. seperti
berpuasa
1)
MENGUTAMAKAN AKHIRAT
Pada dua contoh,
pelaku “pacaran islami” ditawari kenikmatan duniawi (zina), tetapi menolaknya
dengan alasan ayat QS Az-Zukhruf [43]: 67, “Teman-teman akrab pada hari
[kiamat] itu sebagiannya menjadi musuh bagi sebagian yang lain, kecuali
orang-orang yang bertaqwa.” (hlm. 616 dan 655) Maksudnya, mereka yang islam itu
lebih memilih kenikmatan ukhrawi daripada kenikmatan duniawi (ketika dua macam
kenikmatan ini bertentangan).
Adapun
pada bab terakhir, Ibnu Qayyim (dengan berlandaskan QS Al-Insaan [76]: 12)
menyatakan, “Barang siapa yang mempersempit dirinya [di dunia] dengan menentang
kemauan hawa nafsu, niscaya Allah akan meluaskan kuburnya dan memberinya
keleluasaan di hari kemudian.” (hlm. 918)
2)
MENCINTAI KARENA ALLAH
Pada suatu contoh,
diungkapkan syair: “Sesunggguhnya aku merasa malu kepada kekasihku bila
melakukan hal yang mencurigakan; dan jika diajak untuk hal yang baik, aku pun
berbuat yang baik.” (hlm. 656)
Syair
tersebut menggambarkan bahwa percintaannya “menghantarkannya untuk dapat meraih
ridha-Nya” (hlm. 550). Menghindari hal yang mencurigakan dan menerima ajakan
berbuat baik itu diridhai Dia, bukan?
Lantas,
apa hubungannya dengan “cinta karena Allah”? Perhatikan:
Yang
dimaksud dengan cinta karena Allah ialah hal-hal yang termasuk ke dalam
pengertian kesempurnaan cinta kepada-Nya dan berbagai tuntutannya, bukan
keharusannya. Karena sesungguhnya cinta kepada Sang Kekasih menuntut yang
bersangkutan untuk mencintai pula apa yang disukai oleh Kekasihnya dan juga
mencintai segala sesuatu yang dapat membantunya untuk dapat mencintai-Nya serta menghantarkannya
untuk dapat meraih ridha-Nya dan berdekatan dengan-Nya. (hlm. 550)
3)
MEMBUTUHKAN PENGAWASAN ALLAH DAN ORANG LAIN
Pada suatu contoh,
pelaku “pacaran islami” bersyair: “Aku punya Pengawas yang tidak boleh
kukhianati; dan engkau pun punya Pengawas pula” (hlm. 628).
Pada satu contoh
lainnya, Muhammad bin Sirin mengabarkan bahwa “dahulu mereka,
saat melakukan pacaran, tidak pernah melakukan hal-hal yang mencurigakan.
Seorang lelaki yang mencintai wanita suatu kaum, datang dengan terus-terang
kepada mereka dan hanya berbicara dengan mereka tanpa ada suatu kemungkaran pun
yang dilakukannya di kalangan mereka” (hlm. 621).
4)
MENYIMAK KATA-KATA YANG MAKRUF
Pada suatu contoh,
‘Utsman Al-Hizami mengabarkan, “Keduanya saling bertanya dan wanita itu meminta
kepada Nushaib untuk menceritakan pengalamannya dalam bentuk bait-bait syair,
maka Nushaib mengabulkan permintaannya, lalu mendendangkan bait-bait syair
untuknya.” (hlm. 620)
Pada enam contoh,
para pelaku pacaran islami “saling mengutarakan rasa cintanya masing-masing
melalui bait-bait syair yang indah dan menarik” (hlm. 620-621).
Pada suatu contoh,
pelaku pacaran islami mengabarkan, “Demi Tuhan yang telah mencabut nyawanya,
dia sama sekali tidak pernah mengucapkan kata-kata yang mesum hingga kematian
memisahkan antara aku dan dia.” (hlm. 628)
5)
TIDAK MENYENTUH SANG PACAR
Pada suatu contoh,
pelaku pacaran islami menganggap jabat tangan “sebagai perbuatan yang tabu”
(hlm. 628).
Pada dua contoh,
pelaku pacaran islami tidak pernah menyentuhkan tangannya ke tubuh pacarnya.
(hlm. 634)
Pada satu contoh lainnya,
pelaku pacaran islami “berdekatan tetapi tanpa bersentuhan” (hlm. 621).
Sementara
itu, Ibnu Qayyim mengecam gaya pacaran jahili di zaman beliau. Mengutip
kata-kata Hisyam bin Hassan, “yang terjadi pada masa sekarang, mereka masih
belum puas dalam berpacaran, kecuali dengan melakukan hubungan sebadan alias
bersetubuh” (hlm. 621).
6)
MENJAGA PANDANGAN
Di antara contoh-contoh itu, terdapat satu kasus (hlm.
617) yang menunjukkan bahwa si pelaku pacaran islami “dapat melihat”
kekasihnya. Akan tetapi, Ibnu Qayyim telah mengatakan “bahwa pandangan yang
dianjurkan oleh Allah SWT sebagai pandangan yang diberi pahala kepada pelakunya
adalah pandangan yang sesuai dengan perintah-Nya, yaitu pandangan yang
bertujuan untuk mengenal Tuhannya dan mencintai-Nya, bukan pandangan ala setan”
(hlm. 241).
7)
SEPERTI BERPUASA
Ibnu Qayyim menyimpulkan:
Demikianlah
kisah-kisah yang menggambarkan kesucian mereka dalam bercinta. Motivasi yang
mendorong mereka untuk memelihara
kesuciannya paling utama ialah mengagungkan Yang Mahaperkasa,
kemudian berhasrat untuk dapat menikahi bidadari nan cantik di negeri yang
kekal (surga). Karena sesungguhnya barang siapa yang melampiaskan kesenangannya
di negeri ini untuk hal-hal yang diharamkan, maka Allah tidak akan memberinya
kenikmatan bidadari nan cantik di negeri sana…. (hlm. 650)
Oleh
karena itu, hendaklah seorang hamba bersikap waspada dalam memilih salah satu
di antara dua kenikmatan [seksual] itu bagi dirinya dan tiada jalan lain
baginya kecuali harus merasa puas dengan salah satunya, karena sesungguhnya
Allah tidak akan menjadikan bagi orang yang menghabiskan semua kesenangan dan
kenikmatan dirinya dalam kehidupan dunia ini, seperti orang
yang berpuasadan menahan diri darinya buat nanti pada hari
berbukanya saat meninggalkan dunia ini manakala dia bersua dengan Allah SWT.
(hlm. 650-651)
Begitulah tujuh ciri khas pacaran islami ala Raudhatul
Muhibbiin dalam pandangan kami. Bagaimana dengan Anda? Tolonglah
beritahu kami apa saja ciri khas pacaran islami ala Raudhatul Muhibbiin dalam
pandangan Anda!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar