Membangun kehidupan dalam berumah tangga
adalah sesuatu yang sangat membahagiakan. Betapa tidak, sebelum menikah
segala persoalan hidup mesti ditanggung sendiri, sedangkan ketika sudah
berumah tangga segala persoalan itu dapat diselesaikan secara bersama.
Sungguh, seberat apa pun persoalan, bila ditanggung bersama, akan terasa
lebih ringan dan mudah untuk diselesaikan.
Betapa indahnya kehidupan setelah menikah itu. Pada saat shalat lail
misalnya, biasanya harus sendirian menahan dinginnya malam, selanjutnya
dapat dilaksanakan bersama istri tercinta dengan kemesraan yang hangat.
Dan, seusai shalat lail bersama, suami istri dapat berdzikir
bersama, lalu sama-sama berdoa memohon anugerah terindah kepada Allah
Yang Maha Kuasa. Selanjutnya, sambil menunggu waktu shalat Shubuh, suami
istri dapat mengaji bersama, atau bahkan boleh berpelukan mesra, yang
sungguh semuanya berpahala.
Memang, siapakah yang dapat mengelak
dari konflik ketika sudah membangun rumah tangga. Dua jiwa yang
mempunyai karakter berbeda, berasal dari keluarga yang mempunyai
kebiasaan-kebiasaan yang tidak sama, sudah barang tentu pergesekan itu
pasti ada. Tetapi, jika sejak awal dalam berumah tangga sudah
dipancangkan niat yang sangat kuat, bahwa dalam membangun pernikahan
adalah dalam rangka beribadah kepada Allah Swt., insya Allah
konflik yang terpaksa besar bisa diubah menjadi kecil. Konflik yang
kecil sesungguhnya adalah ringan sekali. Dan, konflik yang ringan
sebenarnya adalah perbedaan wajar yang mesti terjadi sebagai pemicu
untuk lebih mengikatkan rasa cinta dalam berumah tangga.
Maka, berangkat dari keyakinan yang
seperti itu, saya pun tidak takut ketika harus mengambil keputusan untuk
segera menikah. Siapa takut untuk menikah bila keinginan agar hidup
semakin barakah. Urusan bekerja dan mencari nafkah, dalam keyakinan
saya, pastilah oleh Allah Swt.
segalanya akan dipermudah. Sungguh, saya
belajar sepenuhnya meyakini firman Allah Ta’ala berikut ini:
“Dan nikahkanlah orang-orang yang
sendirian di antara kamu, dan orang-orang yang layak (menikah) dari
hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang
perempuan. Jika mereka miskin, Allah akan memampukan mereka dengan
karunia-Nya. Dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (QS. an-Nuur [24]: 32).
Sungguh, firman Allah tersebut
memberikan harapan yang sangat besar bagi orang-orang yang beriman. Mari
kita cermati sekali lagi kalimat yang memberikan harapan itu, “Jika mereka miskin, Allah akan memampukan mereka dengan karunia-Nya.” Masya Allah…,
ini adalah firman Allah! Siapakah yang tidak percaya dan masih
meragukan kebenaran firman Allah? Sudah barang tentu, kita tidak ingin
masuk ke dalam golongan orang yang meragukan kebenaran firman Allah.
Ayat inilah sesungguhnya yang ingin saya katakan kepada pembaca tercinta
sebagai pegangan: dalam rangka memberanikan diri untuk menikah.
Bila keinginan atau keberanian untuk menikah
sudah ada pada diri seseorang, maka hal pertama dan utama yang mesti
dikuatkan sebelum menikah adalah niat. Hal ini sangat berkaitan dengan
pertanyaan mendasar, mengapa kita mesti menikah? Dan, menurut saya,
alasan utama menikah adalah hendaknya karena agama. Dengan menikah kita
menjadi lebih mampu dalam hal menundukkan pandangan. Dengan menikah kita
memperoleh ketenteraman jiwa, kasih dan sayang, sehingga mampu atau
dapat beribadah dengan baik. Dan, dengan menikah sesungguhnya adalah
menyempurnakan keagamaan kita.
Rasulullah Saw. bersabda:
“Nikah adalah sunnahku, barang siapa yang benci terhadap sunnahku, bukanlah ia termasuk umatku.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Bukankah nikah adalah sunnah dari
Rasulullah Saw. Dan, apabila nikah adalah sunnah Rasulullah, sudah
barang tentu melaksanakannya akan bernilai ibadah. Berangkat dari
hal-hal demikianlah sesungguhnya niat menjadi sangat penting dan perlu
untuk dipancangkan semenjak awal dengan baik.
Demikianlah semoga artikel sederhana ini bermanfaat bagi kita bersama.
Salam bahagia selalu,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar