Pertempuran melawan Sekutu dan NICA
Terdapat
berbagai pertempuran yang terjadi pada saat masuknya Sekutu dan NICA
ke Indonesia, yang saat itu baru menyatakan
kemerdekaannya. Pertempuran yang terjadi di antaranya adalah:
- Peristiwa 10 November, di daerah Surabaya dan sekitarnya.
- Palagan Ambarawa, di daerah Ambarawa, Semarang dan sekitarnya.
- Perjuangan Gerilya Jenderal Soedirman, meliputi Jawa Tengah dan Jawa Timur
- Bandung Lautan Api, di daerah Bandung dan sekitarnya.
- Pertempuran Medan Area, di daerah Medan dan sekitarnya.
- Pertempuran Margarana, di Bali
- Serangan Umum 1 Maret 1949, di Yogyakarta
- Pertempuran Lima Hari Lima Malam, di Palembang
- Pertempuran Lima Hari, di Semarang
Ibukota pindah ke Yogyakarta
Karena
situasi keamanan ibukota Jakarta (Batavia saat itu) yang makin memburuk, maka
pada tanggal 4 Januari 1946,
Soekarno dan Hatta
dengan menggunakan kereta api, pindah ke Yogyakarta sekaligus pula memindahkan ibukota. Meninggalkan Sutan Syahrir dan kelompok yang
pro-negosiasi dengan Belanda di Jakarta.
Pemindahan
ke Yogyakarta dilakukan dengan menggunakan kereta api, yang disebut dengan singkatan
KLB (Kereta Luar Biasa). Orang lantas berasumsi bahwa rangkaian kereta api yang
digunakan adalah rangkaian yang terdiri dari gerbong-gerbong luar biasa.
Padahal yang luar biasa adalah jadwal perjalanannya, yang diselenggarakan di
luar jadwal yang ada, karena kereta dengan perjalanan luar biasa ini,
mengangkut Presiden beserta Wakil Presiden, dengan keluarga dan staf,
gerbong-gerbongnya dipilihkan yang istimewa, yang disediakan oleh Djawatan
Kereta Api (DKA) untuk VVIP.
Rentetan Peristiwa di 1946
Perubahan sistem pemerintahan
Pernyataan van Mook untuk tidak berunding dengan Soekarno adalah salah satu faktor yang
memicu perubahan sistem pemerintahan dari presidensial
menjadi parlementer.
Gelagat ini sudah terbaca oleh pihak Republik Indonesia, karena itu sehari
sebelum kedatangan Sekutu,
tanggal 14 November 1945,
Soekarno sebagai kepala pemerintahan
republik diganti oleh Sutan Sjahrir yang seorang sosialis dianggap sebagai figur yang tepat
untuk dijadikan ujung tombak diplomatik, bertepatan dengan naik daunnya partai
sosialis di Belanda.
Terjadinya perubahan besar dalam sistem
pemerintahan Republik Indonesia (dari sistem Presidensiil
menjadi sistem Parlementer)
memungkinkan perundingan antara pihak RI dan Belanda. Dalam pandangan Inggris dan Belanda, Sutan Sjahrir dinilai sebagai seorang
moderat, seorang intelek, dan seorang yang telah berperang selama pemerintahan
Jepang.
Diplomasi Syahrir
Ketika Syahrir mengumumkan kabinetnya, 15 November 1945,
Letnan Gubernur Jendral
van Mook mengirim kawat kepada Menteri
Urusan Tanah Jajahan (Minister of Overseas Territories, Overzeese
Gebiedsdelen), J.H.A. Logemann,
yang berkantor di Den Haag: "Mereka
sendiri [Sjahrir dan Kabinetnya] dan bukan Soekarno yang bertanggung jawab atas
jalannya keadaan". Logemann sendiri berbicara pada siaran radio BBC
tanggal 28 November 1945,
"Mereka bukan kolaborator seperti Soekarno, presiden mereka, kita tidak
akan pernah dapat berurusan dengan Dr Soekarno, kita akan berunding dengan
Sjahrir". Tanggal 6 Maret 1946
kepada van Mook, Logemann bahkan menulis bahwa Soekarno adalah persona non grata (Orang yang tidak diinginkan-Pen).
Pihak Republik Indonesia memiliki alasan politis
untuk mengubah sistem pemerintahan dari Presidensiil menjadi Parlementer,
karena seminggu sebelum perubahan pemerintahan itu, Den Haag mengumumkan dasar rencananya. Ir
Soekarno menolak hal ini, sebaliknya Sjahrir mengumumkan pada tanggal 4 Desember 1945
bahwa pemerintahnya menerima tawaran ini dengan syarat pengakuan Belanda atas Republik Indonesia.
Tanggal 10 Februari 1946,
pemerintah Belanda membuat pernyataan memperinci tentang politiknya dan
menawarkan mendiskusikannya dengan wakil-wakil Republik yang diberi kuasa.
Tujuannya hendak mendirikan persemakmuran Indonesia, yang terdiri dari
daerah-daerah dengan bermacam-macam tingkat pemerintahan sendiri, dan untuk
menciptakan warga negara Indonesia bagi semua orang yang dilahirkan di sana.
Masalah dalam negeri akan dihadapi dengan suatu parlemen yang dipilih secara
demokratis dan orang-orang Indonesia akan merupakan mayoritas. Kementerian akan
disesuaikan dengan parlemen tetapi akan dikepalai oleh wakil kerajaan.
Daerah-daerah yang bermacam-macam di Indonesia yang dihubungkan bersama-sama
dalam suatu susunan federasi dan persemakmuran akan menjadi rekan (partner)
dalam Kerajaan Belanda, serta akan mendukung permohonan keanggotaan Indonesia
dalam organisasi PBB.
Pada bulan April dan Mei 1946,
Sjahrir mengepalai delegasi kecil Indonesia yang pergi berunding dengan
pemerintah Belanda di Hoge
Veluwe. Lagi, ia menjelaskan bahwa titik tolak perundingan haruslah
berupa pengakuan atas Republik sebagai negara berdaulat. Atas dasar itu
Indonesia baru mau berhubungan erat dengan Kerajaan Belanda dan akan bekerja
sama dalam segala bidang. Karena itu Pemerintah Belanda menawarkan suatu
kompromi yaitu: "mau mengakui Republik sebagai salah satu unit negara
federasi yang akan dibentuk sesuai dengan Deklarasi 10 Februari".
Sebagai tambahan ditawarkan untuk mengakui pemerintahan de facto
Republik atas bagian Jawa dan Madura yang belum berada di bawah
perlindungan pasukan Sekutu.
Karena Sjahrir tidak dapat menerima syarat-syarat
ini, konferensi itu bubar dan ia bersama teman-temannya kembali pulang.
Tanggal 17 Juni 1946,
Sjahrir mengirimkan surat rahasia
kepada van Mook, menganjurkan bahwa mungkin
perundingan yang sungguh-sungguh dapat dimulai kembali. Dalam surat Sjahrir
yang khusus ini, ada penerimaan yang samar-samar tentang gagasan van Mook
mengenai masa peralihan sebelum kemerdekaan penuh diberikan kepada Indonesia;
ada pula nada yang lebih samar-samar lagi tentang kemungkinan Indonenesia
menyetujui federasi Indonesia - bekas Hindia Belanda dibagi menjadi berbagai
negara merdeka dengan kemungkinan hanya Republik sebagai bagian paling penting.
Sebagai kemungkinan dasar untuk kompromi, hal ini dibahas beberapa kali
sebelumnya, dan semua tokoh politik utama Republik mengetahui hal ini.
Tanggal 17 Juni 1946,
sesudah Sjahrir mengirimkan surat rahasianya kepada van Mook, surat itu
dibocorkan kepada pers oleh surat kabar di Negeri Belanda. Pada tanggal 24 Juni 1946,
van Mook mengirim kawat ke Den Haag: "menurut sumber-sumber
yang dapat dipercaya, usul balasan (yakni surat Sjahrir) tidak disetujui oleh
Soekarno dan ketika dia bertemu dengannya, dia marah. Tidak jelas, apa arah yang
akan diambil oleh amarah itu". Pada waktu yang sama, surat kabar
Indonesia menuntut dijelaskan desas-desus tentang Sjahrir bersedia menerima
pengakuan de facto Republik Indonesia terbatas pada Jawa dan Sumatra.
Sumber : Buku Sejarah Nasional Indonesia Karya Marwati Djoened Poesponegoro; Nugroho
Notosusanto
(Ditulis Kembali oleh Yadi Suryadi)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar