(Arrahmah.com)
– Sepuluh hari terakhir di bulan Ramadhan adalah masa-masa emas untuk mendulang
pahala dan ampunan Allah Ta’ala. Dalam sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan-lah
ada perintah untuk lebih bersungguh-sungguh dalam mendekatkan diri kepada Allah
Ta’ala. Dalam sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan pula ada perintah mencari lailatul qadar.
Berikut ini beberapa
amalan yang semestinya kita kerjakan dalam sepuluh hari terakhir bulan
Ramadhan, untuk menggapai ampunan Allah Ta’ala dan meraih lailatul qadar.
1. Menjaga shalat lima waktu secara berjama’ah di
masjid
«مَنْ تَوَضَّأَ لِلصَّلَاةِ فَأَسْبَغَ الْوُضُوءَ، ثُمَّ مَشَى
إِلَى الصَّلَاةِ الْمَكْتُوبَةِ، فَصَلَّاهَا مَعَ النَّاسِ أَوْ مَعَ
الْجَمَاعَةِ أَوْ فِي الْمَسْجِدِ غَفَرَ اللهُ لَهُ ذُنُوبَهُ»
Barangsiapa berwudhu dengan sempurna untuk melaksanakan shalat,
kemudian ia berjalan kaki menuju shalat wajib, sehingga ia melaksanakan shalat
wajib tersebut bersama masyarakat, atau berjama’ah, atau di masjid, niscaya
Allah akan mengampuni dosa-dosanya. (HR. Muslim no. 232)
2. Melaksanakan shaum Ramadhan
«مَنْ صَامَ رَمَضَانَ، إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا، غُفِرَ لَهُ مَا
تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ»
Barangsiapa melakukan puasa Ramadhan karena keimanan dan mengharapkan
pahala di sisi Allah, niscaya dosa-dosanya yang telah lalu akan diampuni. (HR. Bukhari no. 38 dan Muslim no. 760)
3.
Melaksanakan shalat tarawih dan witir
«مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا، غُفِرَ لَهُ مَا
تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ»
Barangsiapa melakukan shalat malam Ramadhan (tarawih dan witir)
karena keimanan dan mengharapkan pahala di sisi Allah, niscaya dosa-dosanya
yang telah lalu akan diampuni. (HR. Bukhari no. 37 dan Muslim
no. 759)
3. Diutamakan melaksanakan shalat tarawih dan witir secara berjama’ah di
masjid sampai selesai bersama dengan imam.
Jika kita memiliki “kebiasaan buruk” shalat tarawih di masjid hanya
beberapa raka’at saja bersama imam, lalu berhenti dan tidak mengikuti shalat
imam, hanya karena kita sibuk ngobrol, sibuk main HP, atau bahkan berniat akan shalat witir sendiri
nanti malam di rumah; maka sebaiknya kita merubah hal itu. Sangat dianjurkan
untuk shalat tarawih dan witir bersama dengan imam di masjid, sehingga selesai
dan salam bersama imam, berdasar hadits shahih:
عَنْ أَبِي ذَرٍّ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ «إِنَّ الرَّجُلَ إِذَا صَلَّى مَعَ الْإِمَامِ حَتَّى يَنْصَرِفَ
حُسِبَ لَهُ قِيَامُ لَيْلَةٍ»
Dari Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu berkata: Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa salam bersabda: “Jika seseorang melakukan shalat [tarawih dan witir]
bersama imam sampai selesai, niscaya dicatat baginya pahala shalat semalam
suntuk.” (HR. Abu Daud no. 1375, Tirmidzi no. 806, An-Nasai no. 1364, Ibnu
Majah no. 1327 dan lain-lain. Dinyatakan shahih oleh At-Tirmidzi, Ibnu Hibban,
Syu’aib al-Arnauth, al-Albani dan lain-lain)
5. Bersungguh-sungguh dalam mengisi waktu malam dan siang dengan
memperbanyak ibadah.
Terlebih pada waktu malam, diutamakan untuk memperbanyak shalat
sunah, membaca Al-Qur’an, doa, dzikir, istighfar, dan amal kebajikan lainnya.
Diutamakan pula tidak melakukan hubungan suami-istri dan lebih mengutamakan
ibadah mahdhah kepada Allah Ta’ala. Hendaknya seorang
kepala rumah tangga mengajak serta istri dan anak-anaknya untuk memperbanyak
ibadah kepada Allah Ta’ala.
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا، قَالَتْ: كَانَ رَسُولُ اللهِ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، «إِذَا دَخَلَ الْعَشْرُ، أَحْيَا اللَّيْلَ،
وَأَيْقَظَ أَهْلَهُ، وَجَدَّ وَشَدَّ الْمِئْزَرَ»
Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata: “Kebiasaan Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa salam jika telah datang sepuluh hari terakhir bulan
Ramadhan adalah beliau menghidupkan waktu malam [dengan ibadah], membangunkan
keluarga [istri-istrinya], bersungguh-sungguh dalam beribadah dan mengencangkan
sarungnya.” (HR. Bukhari no. 2024 dan Muslim no. 1174)
6.
Memperbanyak sedekah dan infak
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، قَالَ: «كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَجْوَدَ النَّاسِ، وَكَانَ أَجْوَدُ مَا يَكُونُ فِي
رَمَضَانَ حِينَ يَلْقَاهُ جِبْرِيلُ، وَكَانَ يَلْقَاهُ فِي كُلِّ لَيْلَةٍ مِنْ
رَمَضَانَ فَيُدَارِسُهُ القُرْآنَ، فَلَرَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ أَجْوَدُ بِالخَيْرِ مِنَ الرِّيحِ المُرْسَلَةِ»
Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata: “Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa salam adalah orang yang paling dermawan dan saat beliau paling
dermawana adalah di bulan Ramadhan ketika malaikat Jibril menemui beliau.
Malaikat Jibril senantiasa menemui beliau pada setiap malam dalam bulan
Ramadhan untuk saling mempelajari Al-Qur’an. Pada saat itu Rasulullah lebih
dermawan dalam melakukan amal kebajikan melebihi (cepat dan luasnya) hembusan
angin.” (HR. Bukhari no. 6 dan Muslim no. 2308)
7. I’tikaf
Disunahkan melakukan
i’tikaf selama sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan bagi orang yang memiliki
kemampuan dan tidak memiliki halangan.
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا،: «أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، كَانَ يَعْتَكِفُ العَشْرَ الأَوَاخِرَ مِنْ رَمَضَانَ
حَتَّى تَوَفَّاهُ اللَّهُ، ثُمَّ اعْتَكَفَ أَزْوَاجُهُ مِنْ بَعْدِهِ»
Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata: “Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
salam selalu melakukan i’tikaf pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan sampai
Allah mewafatkan beliau, kemudian para istri beliau melakukan i’tikaf
sepeninggal beliau.” (HR. Bukhari no. 2026 dan Muslim no. 1172)
8. Ribath
dan jihad di jalan Allah Ta’ala
Bulan Ramadhan adalah
bulan ribath dan jihad. Banyak peperangan besar dalam sejarah Islam terjadi di
bulan suci Ramadhan. Berjaga-jaga di medan perang dan berperang untuk
menegakkan syariat Allah dan membela keselamatan nyawa kaum muslimin di bumi
jihad Suriah, Irak, Afghanistan, Somalia, Mali, Chechnya dan Rohingnya pada
bulan suci Ramadhan merupakan amalan yang sangat dianjurkan.
Hadits shahih telah
menjelaskan keutamaan sehari berperang di jalan Allah dalam kondisi berpuasa:
عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الخُدْرِيِّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: سَمِعْتُ
النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: «مَنْ صَامَ يَوْمًا فِي
سَبِيلِ اللَّهِ، بَعَّدَ اللَّهُ وَجْهَهُ عَنِ النَّارِ سَبْعِينَ خَرِيفًا»
Dari Abu Sa’id al-Khudri radhiyallahu ‘anhu berkata: Aku telah
mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda: “Barangsiapa
berpuasa sehari di jalan Allah [yaitu dalam kondisi berjihad] niscaya Allah
akan menjauhkan wajahnya [yaitu dirinya] dari neraka sejauh 70 musim gugur
[yaitu 70 tahun].” (HR. Bukhari 2840 dan Muslim no. 1153)
Hadits di atas disebutkan oleh imam Bukhari dalam kitab Shahih
Bukharinya, pada kitab Jihad was Siyar, bab fadhlu shaum fi sabilillah.
Para ulama hadits lainnya juga menempatkan hadits ini dalam pembahasan jihad fi
sabilillah. Artinya, makna fi sabilillah dalam hadits tersebut adalah berperang
semata-mata untuk menegakkan syariat Allah dan membela kaum muslimin yang
tertindas. Wallahu a’lam bish-shawab.
Hal yang menguatkan hal
itu adalah hadits tersebut diriwayatkan dari jalur sahabat Abu Hurairah
radhiyallahu ‘anhu dengan lafal:
مَا مِنْ مُرَابِطٍ
يُرَابِطُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَيَصُومُ يَوْمًا فِي سَبِيلِ اللَّهِ إِلاّّ بَاعَدَ اللَّهُ وَجْهَهُ عَنِ النَّارِ سَبْعِينَ
خَرِيفًا
Tidak ada seorang murabith pun
yang berjaga-jaga di jalan Allah lalu ia berpuasa sehari di jalan Allah kecuali
Allah akan menjauhkan wajahnya [yaitu dirinya] dari neraka sejauh 70 musim
gugur [yaitu 70 tahun].” (HR. Abu Thahir adz-Dzuhli dalam
Al-Fawaid. Fathul Bari Syarh Shahih al-Bukhari, 6/48)
Imam An-Nawawi berkata: “Hadits ini dibawa pada pengertian apabila
puasa tidak membahayakan dirinya, tidak membuatnya meninggalkan suatu
kewajiban, tidak membuat peperangannya melemah dan tidak melemahkannya dari
tugas-tugas lainnya dalam peperangannya.” (An-Nawawi, Syarh Shahih Muslim,
8/33)
Imam Ibnu Daqiqil ‘Ied berkata: “Sabda beliau di jalan Allah, menurut ‘urf (kebiasaan) mayoritas
penggunaan istilah ini adalah untuk perkara jihad.” (Ibnu
Daqiqil ‘Ied, Ihkam al-Ahkam Syarh Umdat al-Ahkam, 2/37)
Imam Ibnul Jauzi al-Hambali berkata: “Jika disebutkan lafal jihad begitu saja [tanpa ada kata lain yang
mengiringinya] maka maknanya adalah jihad.” (Ibnu Hajar al-Asqalani, Fathul
Bari Syarhu Shahih al-Bukhari, 6/48)
Hadits-hadits shahih
juga telah menjelaskan keutamaan ribath di jalan Allah.
عَنْ سَلْمَانَ، قَالَ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ يَقُولُ: رِبَاطُ يَوْمٍ فِي سَبِيلِ اللهِ أَفْضَلُ، وَرُبَّمَا قَالَ:
خَيْرٌ، مِنْ صِيَامِ شَهْرٍ وَقِيَامِهِ، وَمَنْ مَاتَ فِيهِ وُقِيَ فِتْنَةَ
القَبْرِ، وَنُمِّيَ لَهُ عَمَلُهُ إِلَى يَوْمِ القِيَامَةِ
Dari Salman al-Farisi radhiyallahu ‘anhu berkata: Aku telah mendengar
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda: “Berjaga-jaga [di medan
perang] selama sehari-semalam itu lebih utama daripada puasa selama satu bulan
penuh dan shalat malam selama sebulan penuh, dan jika ia mati saat menjalankan
tugas jaga tersebut niscaya ia akan aman dari [siksaan] dua malaikat kubur dan
amal yang biasa ia kerjakan akan terus mengalir pahalanya sampai hari kiamat.”
(HR. Muslim no. 1913 dan
Tirmidzi no. 1665, dengan lafal Tirmidzi)
عَنْ عُثْمَانَ بْنَ عَفَّانَ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ يَقُولُ: سَمِعْتُ
رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: «رِبَاطُ يَوْمٍ فِي
سَبِيلِ اللَّهِ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ يَوْمٍ فِيمَا سِوَاهُ مِنَ الْمَنَازِلِ»
Dari Utsman bin Affan radhiyallahu ‘anhu berkata: Aku telah mendengar
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda: “Berjaga-jaga satu hari di
[medan perang] di jalan Allah itu lebih baik dari 1000 hari di tempat
selainnya.” (HR. Tirmidzi no. 1667, An-Nasai no. 3169, hadits hasan)
Sahabat Abu Hurairah
radhiyallahu ‘anhu berkata:
لَأَنْ أُرَابِطَ لَيْلَةً فِي سَبِيلِ اللَّهِ أَحَبُّ إلَيَّ مِنْ
أَنْ أَقُومَ لَيْلَةَ الْقَدْرِ عِنْدَ الْحَجَرِ الْأَسْوَدِ
“Berjaga-jaga di medan perang di jalan Allah selama semalam adalah
lebih aku sukai daripada saya melakukan shalat tarawih dan witir pada malam
lailatul qadar di sisi Hajar Aswad.” (Ibnu Taimiyah, Majmu’ Fatawa,
28/6)
9. Umrah
Ramadhan
Keutamaan umrah di
bulan suci Ramadhan dijelaskan dalam hadits shahih:
«فَإِذَا جَاءَ رَمَضَانُ فَاعْتَمِرِي، فَإِنَّ عُمْرَةً فِيهِ
تَعْدِلُ حَجَّةً»
“Jika datang bulan Ramadhan, maka lakukanlah olehmu umrah, sebab
umrah pada bulan tersebut setara [pahalanya] dengan [pahala] haji.” (HR. Bukhari no. 1782 dan Muslim no. 1256)
«فَإِنَّ عُمْرَةً فِي رَمَضَانَ تَقْضِي حَجَّةً أَوْ حَجَّةً مَعِي»
Sesungguhnya [pahala] umrah di bulan suci Ramadhan itu setara dengan
pahala haji atau haji bersamaku.” (HR. Bukhari no. 1863 dan Muslim
no. 1256)
Hukum umrah menurut
kesepakatan ulama adalah sunnah. Ketika dalam satu waktu yang sama seorang
muslim dihadapkan kepada dua pilihan, melaksanakan amalan wajib dan amalan
sunnah, maka amalan wajib harus didahulukan atas amalan sunnah. Terlebih jika
meninggalkan amalan wajib tersebut mengakibatkan bencana besar terhadap agama,
nyawa, harta, kehormatan dan akal kaum muslimin.
Umrah di bulan
Ramadhan, betatapun besar pahalanya, adalah amalan sunnah. Pada saat yang sama
umat Islam memiliki amalan lain yang sifatnya wajib, yaitu membantu jutaan kaum
muslimin di Suriah dan Rohingnya yang terancam keselamatan nyawa dan akidahnya.
Jutaan muslim Suriah dikepung dan dibombardir oleh pasukan rezim Nushairiyah
dan milisi-milisi Syiah. Kaum muslimin Suriah kekurangan makanan, obat-obatan,
senjata dan amunisi. Mereka berada di antara dua bahaya; mati karena kelaparan
atau mati karena dibantai oleh pasukan Nushairiyah dan milisi Syiah.
Banyak dalil dari
Al-Qur’an dan as-sunnah yang memerintahkan kita untuk membantu dan
menyelamatkan saudara-saudara kita yang tertindas, kelaparan dan terancam
keselamatan nyawa dan akidah mereka. Allah Ta’ala berfirman:
وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى
Dan tolong-menolonglah kalian dalam amal kebajikan dan ketakwaan. (QS. Al-Maidah [5]: 2)
أَرَأَيْتَ الَّذِي يُكَذِّبُ بِالدِّينِ (1) فَذَلِكَ الَّذِي يَدُعُّ
الْيَتِيمَ (2) وَلَا يَحُضُّ عَلَى طَعَامِ الْمِسْكِينِ (3)
Tahukah engkau orang yang mendustakan hari pembalasan (hari kiamat)?
Itulah orang yang menghardik anak yatim dan tidak menganjurkan untuk memberi
makan orang miskin. (QS. Al-Ma’un [107]: 1-3)
Hadits-hadits shahih
memerintahkan kita untuk memperhatikan kesengsaraan sesama kaum muslimin.
عَنْ أَبِي مُوسَى رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ” فُكُّوا العَانِيَ، يَعْنِي: الأَسِيرَ،
وَأَطْعِمُوا الجَائِعَ، وَعُودُوا المَرِيضَ “
Dari Abu Musa al-Asy’ari radhiyallahu ‘anhu berkata: Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda: “Bebaskanlah muslim yang tertawan musuh,
berilah makanan orang yang lapar dan tengoklah orang yang sakit!” (HR. Bukhari no. 3046)
عَنِ النُّعْمَانِ بْنِ بَشِيرٍ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ” مَثَلُ الْمُؤْمِنِينَ فِي تَوَادِّهِمْ،
وَتَرَاحُمِهِمْ، وَتَعَاطُفِهِمْ مَثَلُ الْجَسَدِ إِذَا اشْتَكَى مِنْهُ عُضْوٌ
تَدَاعَى لَهُ سَائِرُ الْجَسَدِ بِالسَّهَرِ وَالْحُمَّى
Dari Nu’man bin Basyir radhiyallahu ‘anhu berkata: Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda: “Perumpamaan kaum beriman dalam sikap
saling mencintai, menyayangi dan menyantuni adalah seperti sebuah tubuh, jika
satu anggota tubuh merasa sakit, maka seluruh anggota tubuh lainnya ikut
merasakannya dengan sulit tidur malam dan demam panas.” (HR. Bukhari no. 6011 dan Muslim no. 2586, dengan lafal Muslim)
Infak untuk membantu
dan menyelamatkan kaum muslimin Suriah dan Rohingnya adalah kewajiban, bukan
sekedar amalan sunnah. Adapun umrah di bulan Ramadhan adalah amalan sunnah dan
masih mungkin dilakukan tahun-tahun mendatang. Seorang muslim yang cerdas dan
memiliki kesadaran ukhuwah akan mendahulukan infak untuk kaum muslimin Suriah
dan Rohingnya yang manfaatnya bisa dirasakan ratusan ribu orang, daripada
mengerjakan umrah Ramadhan yang manfaatnya terbatas untuk dirinya sendiri.
Saat seorang muslim
mengeluarkan belasan bahkan puluhan jutanya untuk melaksanakan Umrah Ramadhan
yang nilainya sunnah, dan ia tidak menginfakkan sebanyak mungkin harta untuk
kaum muslimin di Suriah dan Rohingnya yang nilainya wajib, maka akibatnya
sangat fatal; puluhan ribu atau bahkan ratusan ribu kaum muslimin akan mati
kelaparan atau mati dibantai, masjid-masjid akan dihancurkan, agama kekafiran
Nushairiyah dan Syiah Imamiyah Itsna Asyariyah akan berjaya.
Saudaraku
seislam dan seiman…
Inilah di antara amal-amal shalih yang seharusnya menjadi konsentrasi
kita pada sepuluh hari terakhir dari bulan suci Ramadhan. Semoga Allah
mengaruniakan ampunan, lailatul qadar dan ridha-Nya kepada kita. Wallahu a’lam bish-shawab.
(Ditulis kembali oleh Yadi Suryadi)