Apa yang ada di benak anda tentang santri Pondok
Pesantren???
Mungkin, anda akan berfikiran seperti saya, santri
itu rajin belajar, menghafal dan beribadah serta patuh terhadap pimpinan dan
gurunya. Tetapi hal ini berbanding terbalik dengan apa yang terjadi di Ponpes D
(nama samaran). Kakak senior di Ponpes D menjadi saksi betapa sulitnya mengatur
bebarapa santri yang perlu mendapat perlakuan khusus. Untuk pergi sholat Shubuh saja harus di siram air
se-ember. Di suruh mengaji ba`da Maghrib malah pergi mandi dan setiap hari ada
saja alasan untuk tidak mengaji. Beberapa kali sudah di peringatkan oleh ketua
santri, sebut saja ketuanya adalah si Fauzy. Fauzy bahkan sempat memanggil
santri-santri yang perlu pembinaan khusus ini di masjid dan di temani oleh guru
Ekonomi yang pada waktu itu berada di Ponpes, maklum saja Ponpes D baru saja
membuka pendidikan formal setingkat SLTA pada 2011 yang lalu dengan nama
Madrasah Aliyah.
Dalam forum itu dijelaskan bahwa seorang santri
seperti mereka sebetulnya punya potensi dan kelebihan masing-masing dan tidak
perlu melanggar peraturan yang sebetulnya memang sudah dituliskan semenjak
pelantikan Ketua Santri 3 bulan yang lalu, dan terungkap beberapa alasan dari
mereka mengapa mereka bisa melakukan pelanggaran secara berulang.
Dari forum itu terekam jelas bahwa diantara mereka
memiliki alasan yang cukup spesifik:
1. Tidak betah
2. Ponpes tidak memiliki fasilitas yang memadai
3. Memiliki kebiasaan buruk di rumah yang dilakukan
di Ponpes
4. Dibanding-bandingkan oleh guru dengan saudara
yang bisa menjawab tes lisan
5. Tidak ada hiburan
6. Belum berubah dari kebiasaan lama
Dari keenam alasan ini dapat ditarik kesimpulan
bahwa beberapa santri ini ada masalah dalam perilaku dan kebiasaan mereka, ada
beberapa sikap mereka yang harus di rubah dan memang harus bebenah supaya ada
perubahan ke pada yang lebih baik dan positif.
Sehingga dari penjelasan di atas timbul adanya santri
yang berkualitas dan Santri yang cari identitas.
Mengapa hal ini terjadi??? karena Kedewasaan
Kedewasaan muncul ketika seseorang dihadapkan pada
suatu masalah dan dia tahu bagaimana menghadapinya maka jadilah dia Santri yang
berkualitas, lain halnya dengan santri yang cari identitas, dia sibuk mencari
sesuatu yang menurut dia penting namun melupakan tujuan awal pergi ke pondok.
Dalam hal ini penulis berkesimpulan bahwa santri itu ada yang berkualitas dan
ada pula yang cari identitas.
Menyikapi hal ini ada ayat Al-Qur`an yang berbicara
tentang perubahan Allah Ta’ala berfirman :
إنَّ
اللهَ لا يُغَيّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتّى يُغَيّرُوْا مَا بِأنْفُسِهِمْ
“Sesungguhnya Allah tidak
merubah keadaan suatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri
mereka sendiri.” (QS. Ar-Ra’ad ayat 11)
Ayat
ini merupakan salah satu dari sekian ayat yang sering dijadikan dalil untuk
sesuatu yang tidak dimaksudkan maknanya oleh Allah Ta’ala. Ditempatkan pada
yang bukan tempatnya. Yaitu ketika ayat ini disampaikan dalam bentuk anjuran
untuk melakukan sebuah perubahan, bahwa perubahan itu harus dimulai dari diri
manusia itu sendiri kemudian perubahan akan datang dari Allah Ta’ala untuk
mereka. Sering disebutkan oleh para da’i bahwa Allah tidak akan merubah nasib
suatu kaum yang ditimpa kelemahan, kehinaan, perpecahan dan dikuasai musuh
sampai mereka mau merubah apa yang ada dalam diri mereka berupa penyimpangan
dalam syariat dan pembangkangan kepada Allah. Sehingga makna yang dipahami dari
penjelasan mereka adalah bahwa perubahan itu adalah perubahan kepada yang lebih
baik dari yang tadinya berupa keburukan dan kehinaan.
Ayat ini, tidaklah seperti yang
sering kita dengarkan dari ungkapan para da’i tersebut. Bukan juga makna itu
yang diinginkan Allah Ta’ala. Semua ulama tafsir menyebutkan makna yang berbeda
dari ungkapan tersebut. Tidak pernah ada yang mengisyaratkan kepada makna itu
kecuali Imam Ibnu Katsir rahimahullahu ketika ia menyebutkan sebuah
hadits dalam pembahasan ayat ini. Hadits yang diriwayatkan dari Ali radhiyallahu
‘anhu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Namun, Ibnu Katsir
berkata setelah menyebutkan hadits itu, “Hadits ini gharib, dan dalam
sanadnya ada rawi yang tidak aku kenali.” (III/504)
Imam ath-Thabari dalam Jâmi’
al-Bayân (XIII/81) menyebutkan bahwa makna ayat ini : “Allah tidak akan
mencabut kenikmatan atau keafiatan yang Dia anugerahkan hingga mereka mengubah
apa yang ada pada diri mereka berupa ketaatan kepada Allah.”
Mudah-mudahan dengan adanya pengalaman ini menjadi batu pemantik semangat bagi para santri yang belajar di Pondok dan tetap istiqomah dalam belajar.
Wallahu a`lam bishawab........
(Ditulis oleh Yadi Suryadi)