Saat mengantarkan Deden ke peristirahatan terakhirnya, aku tak kuasa
menahan air mata. Lelaki yang kukenal tiga belas tahun silam itu kini
pergi. Ribuan orang berbelangsukawa, baik yang ia kenal maupun yang tak
dikenalnya langsung. Semua orang yang akrab dengan karya-karya indahnya
merasa kehilangan. Deden layak menyandang predikat legend dalam dunia
nasyid nusantara.
Deden tak hanya dikenal di Indonesia, komunitas
nasyid di Malaysia bahkan sangat menghargai sosoknya sebagai pencipta
dan penyanyi. Ia mencapai itu dengan jalan penuh liku dan tak mudah. Ini
yang ingin aku ceritakan kembali.
Di tengah suasana sedih
melepas kepergiannya di usia yang masih tergolong muda (34 tahun), aku
justru memutuskan tak lagi merundung meskipun masih belum bisa percaya
Deden pergi secepat itu. Pertemanan yang kami jalin jauh sebelum
edCoustic terbentuk, meyakinkanku bahwa ada hal lain yang tak banyak
orang tahu tentang Deden. Khalayak luas mengenalnya dengan nama Aden
edCoustic, aku ikut serta dalam diskusi mengganti nama publikasinya
menjadi Aden. Tapi sosok yang kukenang darinya adalah sosok Deden, sang
pejuang yang kegigihannya tiada banding.
Kami pertama kali
bertemu di Masjid Salman ITB pada tahun 2000. Kami sama-sama aktif di
Keluarga Remaja Islam Majid Salman ITB (Karisma-ITB), ia lebih dahulu
masuk beberapa bulan, jadi Deden adalah seniorku di Karisma. Deden
tergolong aktivis yang apik dalam bekerja. Ia memang bukan pendebat
tangguh dalam ajang diskusi, tapi Deden adalah perancang yang sistematis
dan pelaksana yang perfeksionis.
Kesanku terhadap Deden pada
masa-masa itu adalah, ia mahasiswa IAIN (sekarang UIN) yang amat
bersahaja. Senyumnya selalu hadir dalam setiap obrolan membuat lelaki
asal Rancaekek ini cepat akrab dengan siapa saja. Ada satu keistimewaan
Deden yang tak dimiliki siapapun di Karisma saat itu. Kami sering
mendaulatnya tampil ke depan bernyanyi karena di setiap waktu luang
Deden kerap berbendang dengan intonasi pelan-pelan. Awalnya Deden
membawakan lagu-lagu nasyid yang tengah populer di awal 2000an,
rata-rata nasyid dari negeri jiran. Namun pada beberapa kesempatan Deden
membawakan lagu gubahannya sendiri. Disanalah kami tertegun, lagu itu
begitu menghipnotis. Pilihan diksinya amat dalam dan nadanya asyik di
telinga bahkan saat ia bernyanyi tanpa bantuan alat musik sekalipun.
Maka, sejak saat itu Deden menjadi penyanyi yang selalu ditodong pada
acara-acara Karisma.
Musik memang mengalir dalam darahnya tetapi
banyak tak tahu Deden sebenarnya sulit bermain alat musik. Aku ingat,
saat bermain gitar, untuk berpindah dari satu kunci ke kunci lain ia
masih amat kaku. Tapi di saat yang bersamaan ia sudah mencipta ratusan
lagu. Deden mengenal nada bagaikan anak kecil yang akrab dengan aroma
ibunya sendiri.
Pada tahun 2002, Deden pernah menginap di kamar
kosku yang terletak tak jauh dari Kampus ITB. Sepanjang malam kami
ngobrol mengenai musik. Disitulah aku melihat sosok berbeda dari Deden
yang aku kenal di Salman ITB. Saat bicara musik, matanya berbinar,
hasratnya pada bidang itu tampak amat menggelora. Malam itu pula Deden
menunjukkan lagu-lagu hasil ciptaannya sejak ia masih SMA. Total ada
tiga buku yang sudah terisi penuh syair-syair lagu, taksiranku jumlahnya
lebih dari 400 lagu. Hebatnya, Deden tak pernah merekam nada setiap
syair itu tapi ia pasti langsung tahu bagaimana komposisinya saat
kutanya bagaimana menyanyikan syair-syair itu?
Diskusi kami malam
itu adalah momen awal aku akrab dengan Deden. Setiap bertemu, Deden
memang menunjukkan minat yang amat tinggi di bidang musik.
“Aku
ingin jadi pencipta lagu dan penyanyi profesional,” ungkapnya. Ini ia
ungkapkan ketika Deden berhasil menjuarai lomba cipta lagu Salman. Ia
menulis sebuah lagu hymne untuk Salman dan berhasil meraih juara.
Melihat hasratnya yang begitu besar aku hanya sumbang saran agar Deden
sering-sering ikut sayembara. Dengan kondisinya saat itu nampaknya hanya
sayembara yang menjadi satu-satunya pintu pembuka karirnya di bidang
musik. Pada titik ini Deden bukanlah siapa-siapa dalam industri musik
atau nasyid.
Ternyata Deden serius, bersama Eggie, sahabatnya di
kompleks perumahannya dan juga pembina Karisma-ITB mereka ikut sayembara
yang akhirnya membuat mereka terpilih dalam sebuah album kompilasi
nasyid. Aku ingat sekali momen itu, Deden dan Eggie bak menemukan harta
karun. Ia amat senang dan mengulang lagi niatnya ingin menjadi pencipta
lagu dan penyanyi profesional.
Kemudian, Deden terlibat dalam
beberapa proyek lagu. Misalnya tahun 2003 kami membuatkan album untuk
adik bimbingan di Karisma, grup itu bernama Salika, berisi empat remaja
SMP yang senang musik. Deden menuliskan hampir sebagian besar lagu untuk
mereka. Beranjak lagi, Deden diminta menulis lagu untuk proyek album
Hani & Ina (2004).
Pada setiap jenjang pencapaiannya itu
Deden selalu cerita betapa ia sangat mensyukuri kesempatan tersebut
meskipun perannya hanya di belakang layar. Menjelang proyek album Hani
& Ina rampung, Deden mendapat tawaran dari YESS Production membuat
album sendiri tetapi dengan syarat harus mencari nama baru bagi grupnya.
Disinilah muncul nama edCoustic yang artinya Eggi & Deden
berakustik. Seingatku saat itu ia bagai anak kecil yang riang dikasih
hadiah mainan. Deden cerita lagi kalau ia sudah maju selankah mencapai
impiannya. Sebagai sahabatnya, aku hanya bisa ikut menyemangati saja. Di
sana ia sudah bertemu para musisi yang siap mendukung cita-citanya.
Setelah album pertamanya rilis, Deden dan Eggie memintaku bergabung
bersama mereka secara formal, yakni menjadi manajer mereka. Sebelumnya
aku hanya rekan diskusinya saja. Tawaran itu sebenarnya sempat kutolak
karena saat itu pula aku tengah mengurus beasiswa S2 ke luar negeri.
Tetapi aku amat menghargai semangat Deden yang seolah tak pernah mati.
Aku melihat ia begitu serius melakoni jalur musik yang ia pilih. Ia
memang sudah dibantu oleh musisi profesional, setengah impiannya sudah
terwujud. Tetapi Deden kala itu punya alasan ia perlu orang yang
membuatnya nyaman menjalani pilihan hidupnya itu. Sebagai mahasiswa yang
baru saja lulus, memilih karir di dunia musik, apalagi lagi masih
berstatus indie adalah penuh risiko. Rekan-rekan kami yang lulus sudah
sibuk mencari kerja sedangkan Deden mempertaruhkan semuanya demi
cita-citanya.
Ia sempat menemukan ujian hidup dan terpaksa
bekerja sebagai penyiar radio freelance di MQ FM Bandung dan menjadi
petugas call center salah satu operator telepon seluler. Semua itu ia
lakoni bersamaan dengan cita-citanya di dunia musik.
Aku ingat
sekali momen pertama kali lagu edCoustic diputar di radio. Kami bertiga
sampai menitikkan air mata haru, senang, dan berpelukan. Ternyata, Album
pertama edCoustic dengan tajuk Masa Muda mendapat respon luar biasa.
Hanya perlu waktu satu bulan edCoustic langsung menempati jawara request
favorit salah satu radio di Bandung. Posisi itu bertahan lebih dari
satu tahun.
Deden dengan tekun memenuhi undangan tampil
disana-sini. Album inilah yang menjadi alasan kami jalan-jalan seantero
nusantara. Penerimaan masyarakat terhadap edCoustic kala itu amat baik.
Bagi sebuah album indie, pencapaian ini sangat luar biasa.
Selama
dua tahun kami sempat mengontrak rumah bersama sekaligus menjadi
basecamp edCoustic. Di rumah itulah aku semakin melihat kesungguhan
tekadnya. Ia siaran hingga larut malam dan paginya langsung berangkat
manggung kesana-kemari. Kadang malah tidak mendapat bayaran.
Meskipun begitu bukannya tanpa ujian. Di awal edCoustic merilis album,
penolakan demi penolakan kami hadapi. Maklum kala itu nasyid mainstream
adalah nasyid tanpa alat musik sedangkan edCoustic mengusung jenis musik
pop. Lantas apa bedanya dengan musik biasa? keluh banyak orang. Bahkan,
sempat ada seminar di salah satu perguruan tinggi yang ujungnya
mengeluarkan fatwa haram terhadap musik edCoustic. Ada pula radio di
Bandung yang mengambil kebijakan tak boleh memutar lagu edCoustic.
Apresiasi positif Deden dapatkan, tetapi rongrongan negatif tak kurang
ia peroleh. Deden pernah curhat kalau ia ingin hengkang saja dari dunia
nasyid dan pindah ke jalur pop biasa. Berkali-kali ia sampaikan itu. Aku
sebenarnya setuju karena bakatnya sekaliber dengan artis nasional,
tetapi Deden sendiri yang mengoreksi niatnya dan tetap berada di jalur
nasyid.
Pengalaman kami selama di Karisma-ITB menangani dakwah
remaja membuat Deden akhirnya tetap kukuh di jalur nasyid. Apalagi
segmentasi edCoustic sama persis dengan segmentasi dakwah yang kami
lakoni di Salman: remaja. Ia pun bisa berdamai dengan cibiran yang kala
itu memang amat keras. Beberapa kali aku malah melihat Deden sampai
menangis menghadapi cercaan atas karyanya. Ujian penolakan ini ia
dapatkan pada kurun 2005-2007. Selepas itu publik mulai dapat menerima
lagu-lagunya.
Hidup layak dari dunia nasyid memang tidak
menjanjikan. Setelah Deden menjadi penyiar MQ FM, petugas call center,
ia sering jatuh sakit. Melihat kondisi itu aku meminta Deden bekerja di
perusahaan yang aku kelola agar ia bisa mengatur ritme kerjanya dengan
lebih manusiawi. Maka, di titik ini hubungan kami jadi aneh. Aku adalah
manajer edCoustic yang artinya aku bekerja untuknya. Di saat yang sama
Deden bekerja untukku. Tetapi itu tak masalah karena persahabatan kami
dibangun dengan landasan yang kokoh.
Sukses dengan album pertama,
memasuki album kedua Deden meminta agar ia bisa memproduseri langsung
album barunya. Sulit memang keputusan itu karena artinya kami harus
membiayai penuh seluruh proses, mulai dari produksi, promosi, hingga
distribusi. Aku akhirnya memfasilitasi dengan membentuk sebuah
perusahaan rekaman kecil. Deden mengajukan nama label indie kami dengan
MikaMusik. Aku awalnya tak terima karena Mika itu nama istriku, tetapi
Deden bersikeras karena ia merasa nama mikamusik adalah diksi yang
asyik. Aku biarkan Deden berkreasi sepenuh hatinya dalam proses
pembuatan album keduanya. Meskipun mempertaruhkan dana yang bagiku tak
sedikit itu. Deden aku persilakan mengelola albumnya sendiri agar ia
mendapat pembelajaran utuh dari awal hingga akhir.
Album kedua
edCoustic yang berjudul Sepotong Episode mengulang sukses album pertama.
Ini pula yang menjadi jalan ia memperluas jangkauan edCoustic hingga ke
negeri jiran. Di saat proses album kedua ini pula Deden mendapat
kesempatan luar biasa. Melly Goeslaw kepincut dengan lagunya dan
dijadikan soundtrack Film Ketika Cinta Bertasbih. Melly mungkin tak
pernah tahu bahwa Deden amat mengidolakannya. Malah jauh sebelumnya,
kami sering protes ke Deden karena setiap perjalanan ia selalu menyetel
lagu-lagu Melly. Jadi, kesempatan itu amatlah berharga bagi Deden. Aku
merasakan euforia Deden kala itu. Ia mentraktir siapa saja yang bisa ia
traktir.
Di fase album kedua ini aku berperan sebagai produser
eksekutif dan manajer bagi mereka. Namun, pada perjalanannya aku mundur
dari peran manajer. Aku melihat Deden dan Eggie sudah amat progresif,
mereka bukan lagi mahasiswa pemalu seperti yang aku kenal dulu, Mereka
sudah memahami seluk beluk dunia musik, sementara aku merasa cukup
mengantarkan mereka hingga titik mereka bisa berlari lebih kencang.
Benar saja, Deden bersama edCoustic-nya kian berkembang. Ia diterima
dengan amat baik di Malaysia. Kepopulerannya kian meluas. Pada album
ketiganya ia sudah memproduksi sendiri albumnya. Malah sudah berhasil
memproduksi beberapa album artis lainnya. Jadi Deden adalah musisi yang
berjalan dari tangga pertama. Satu persatu ia lewati dengan penuh
kesungguhan. Meski perlahan tapi ia tak kunjung menyerah.
Ia
menjadi salah satu pemain kunci dalam industri musik positif di
Indonesia. Kehadirannya menginspirasi banyak orang. Tapi aku menjadi
saksi bahwa itu semua ia peroleh dengan kegigihan yang luar biasa.
Keuletannya dan komitmennya sangat kuat. Visinya menghujam. Tak banyak
orang yang bisa bertahan seperti itu.
Kini Deden telah tiada tapi
karyanya hidup senantiasa. Selepas mengantar jenazahnya ke pemakaman,
aku putar kembali lagu-lagu yang pernah kami perjuangkan dulu. Setiap
lagu itu punya cerita, aku mengalami behind the scene seluruhnya. Lewat
alunan suaranya aku merasa masih bisa berbincang-bincang dengan Deden.
Selamat jalan teman, musik dan pilihan hidupmu telah menjadi amal
jariyah yang insya Allah mengalir deras untukmu. Kita pernah sama-sama
membaca surat-surat penggemarmu yang banyak mendapat pelajaran positif
hanya dari lagu. Aku yakin hingga saat ini syairmu yang kontemplatif itu
bermanfaat bagi banyak orang. Engkau dulu amat sering cerita tema
kematian, malah di sebagain lagu-lagumu temanya berjumpa dengan hari
akhir. Kini engkau sudah disana, semoga Allah menempatkanmu di tempat
yang mulia. Amin…