Beberapa pendapat para ahli
tentang asal-usul nenek moyang bangsa Indonesia antara lain sebagai berikut:
1.
Prof.Dr.H.Kern
Menyatakan
bahwa bangsa Indonesia berasal dari daratan Asia .Hal ini
didukung dengan bukti bukti penggunaan bahasa. Bahasa-bahasa yang dipergunakan
di Indonesia, Polynesia, Melanesia berasal dari satu
akar bahasa yang sama yaitu bahasa Austronesia, penelitian
Kern ini terutama ditujukan pada kesamaan nama-nama binatang dan alat perang.
2.
Prof.Dr.Kroom
Asal-usul
bangsa Indonesia adalah dari Asia Tengah, pendapat ini didasarkan
pada bukti bahwa didaerah Cina tengah banyak terdapat
sungai-sungai yang besar yang menjadi sumber kehidupan manusia.Dari sini mereka
menyebar ke Indonesia pada sekitar tahun 2000 SM sampai tahun 1500 SM.
3.
Hogen
Bangsa
yang mendiami daerah pessisir Melayu berasal dari Sumatera. Bangsa
ini bercampur dengan bangsa Mongol kemudian disebut sebagai bangsaProto
Melayu dan Deutro Melayu.
4.
Dr.Brandes
Bangsa
yang bermukim di Indonesia memiliki banyak persamaan dengan bangsa-bangsa yang
mendiami daerah-daerah yang membentang dari sebelah utara pulau Formosa sampai
sebelah barat daerah Madagaskar, sebelah selatan
Jawa-Bali, dan sebelah timur sampai ketepi pantai barat Amerika, Brandes juga
mendasarkan penelitiannya kepada perbandingan bahasa.
5.
Prof.Muhammad Yamin.
Bangsa
Indonesia berasal dari Indonesia sendiri, hal ini
dibuktikan dengan penemuan-penemuan Fosil dan Artefak tertua dengan
jumlah yang lebih banyak dan lebih lengkap di Indonesia.
6.
Drs.Moh.Ali
Bangsa
Indonesia berasal dari daerah Yunan, pendapatnya dipengaruhi oleh
pendapat Moens yang berpendapat bahwa bangsa Indonesia berasal dari
Mongol dan terdesak oleh bangsa-bangsa yang lebih kuat,dan akhirnya menyebar ke wilayah
Indonesia,menurutnya nenek moyang bangsa Indonesia berasal dari hulu-hulu
sungai besar di Asia dan kedatangannya di Indonesia
secara bergelombang tahun 3000 SM-1500 SM sampai tahun 1500 SM-500
SM. Pendapatnya didukung oleh suatu pernyataan tentang Blod und Breden
Unchroyang berarti darah dan tanah bangsa Indonesia berasal
dari Indonesia sendiri.
7. Mayumdar.
Bangsa
–bangsa yang berbahasa Austronesia berasal dari India, kemudian
menyebar ke Indho-China terus ke daerah Indonesia dan Pasifik, pendapatnya didukung oleh
penelitiannya berdasarkan bahasa Austria yang merupakan bahasa muda di India
Timur.
8.
Max.Muller
Menyatakan
bahwa asal dari bangsa Indonesia adalah daerah Asia
Tenggara.
9.
Van Heine Geldren
Bangsa
Indonesia berasal dari daerah Asia, pendapatnya
didukung oleh artefak-artefak yang ditemukannya di Indonesia memiiki
persamaan dengan yang ditemukan di daratan Asia
10.
Prof.Dr.Aswan Mutakin, M.P.d dan Drs.R.Gunawan Kamil Pasya, M.S.i
Gelombang
migrasi pertama berlangsung sekitar tahun 3000 SM,yaitu berpindahnya ras
Kaukasoid dari laut tangah melalui lembah sungai kuning di Cina utara,
disana mereka bercampur dengan suku Aborigin, sehingga dihasilkan
karakteristik Mongoloid.Setelah itu sebagian dari mereka mamasuki dan bermukin
dikepulauan Indonesia bagian barat dan tengah.
KESIMPULAN
TENTANG ASAL-USUL BANGSA INDONESIA
Dari
beberapa pendapat para ahli diatas maka dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Pendapat
yang didasarkan pada penemuan-penemuan fosil dan artefak bahwa bangsa Indonesia
berasal dari Indonesia sendiri dan kemudianmenyebar ke
Asia lainnya Pendapat ini di dukung oleh penemuan fosil di Cina yang kemudian
disebut dengan Sinanthropus Pekeninsis yang
diperkirakan hidup sezaman dengan Pithecanthropus Erectus Indonesia. Di
wilayah Asia
lainnya belum berhasil ditemukan fosil manusia purba.
2. Bahwa
penduduk yang mendiami daerah kepulauan Indonesia diperkirakan dari daratan
Asia. Melaui jejak sejarah yang diteliti ,bangsa Indonesia diperkirakan
berasal dari daerah Yunan selatan kemudian menyebar kearah selatan
hingga sampai ke Indonesia.
3. Bahwa
masyarakat awal yang menempati wilayah Indonesia termasuk rumpun bangsa Melayu,bangsa
ini merupakan nenek moyang bangsa Indonesia,yang terdiri dari 2 rumpun, yaitu :
1). Bangsa
Proto Melayu (melayu tua) bangsa ini masuk ke Indonesia melalui dua jalan /
route,yaitu :
Jalan
Barat :melalui
semenanjung Melayu,terus ke Sumatera dan menyebar ke seluruh Indonesia.
Jalan
Timur :melalui Filipina terus
ke Sulawesi selanjutnya keseluruh Indonesia Keturunan bangsa Proto Melayu yang
masih ada sampai sekarang : Suku bangsa Dayak,Toraja,Batak dan Papua .
2).
Bangsa
Deutro Melayu (Melayu Muda) Memasuki wilayah
Indonesia secara bergelombang melalui
jalur barat : dari
semenanjung Melayu terus ke Sumatera dan selanjutnya tersebar keseluruh Indonesia,keturunan
bangsa Indonesia yang masih ada sampai sekarang diantaranya adalah :
suku
bangsa Jawa,Bugis,Minang dan Melayu
Dari ketiga kesimpulan
pendapat para ahli tersebut diatas yang paling banyak dipakai/diyakini dan
menjadi
bahan acuan pelajaran Sejarah di sekolah adalah teori yang ke 3 (tiga) yang
menyatakan bahwa :
masyarakat awal yang menempati wilayah
Indonesia termasuk rumpun bangsa
Melayu, yang merupakan
nenek moyang bangsa Indonesia, yang terdiri dari 2 rumpun,yaitu :
1) Bangsa Proto
Melayu (melayu tua)
2). Bangsa Deutro
Melayu (Melayu Muda
Nama Indonesia berasal dari berbagai
rangkaian sejarah yang puncaknya terjadi di pertengahan abad ke-19. Catatan
masa lalu menyebut kepulauan di antara Indocina danAustralia dengan
aneka nama, sementara kronik-kronik bangsa Tionghoa menyebut
kawasan ini sebagai Nan-hai ("Kepulauan Laut Selatan").
Berbagai catatan kuno bangsaIndia menamai
kepulauan ini Dwipantara ("Kepulauan Tanah
Seberang"), nama yang diturunkan dari kata dalam bahasa Sanskerta dwipa (pulau) dan antara (luar, seberang). Kisah Ramayana karya
pujangga Walmiki menceritakan
pencarian terhadap Sinta,
istri Rama yang diculik Rahwana, sampai ke Suwarnadwipa ("Pulau Emas", diperkirakan Pulau Sumatera sekarang)
yang terletak di Kepulauan Dwipantara.
Bangsa Arab menyebut wilayah kepulauan itu sebagai Jaza'ir
al-Jawi (Kepulauan Jawa). Nama Latin untuk kemenyan, benzoe,
berasal dari nama bahasa Arab, luban
jawi("kemenyan Jawa"), sebab para pedagang Arab memperoleh kemenyan
dari batang pohon Styrax
sumatrana yang
dahulu hanya tumbuh di Sumatera. Sampai hari ini jemaah haji kita masih sering
dipanggil "orang Jawa" oleh orang Arab, termasuk untuk orang
Indonesia dari luar Jawa sekali pun. Dalam bahasa Arab juga dikenal nama-nama Samathrah(Sumatera), Sholibis (Pulau Sulawesi), dan Sundah (Sunda) yang
disebut kulluh Jawi ("semuanya Jawa").
Bangsa-bangsa Eropa yang pertama kali datang beranggapan bahwa Asia
hanya terdiri dari orang Arab, Persia, India, dan Tiongkok. Bagi mereka, daerah yang terbentang
luas antara Persia dan Tiongkok semuanya adalah Hindia. Jazirah Asia Selatan
mereka sebut "Hindia Muka" dan daratan Asia Tenggara dinamai
"Hindia Belakang", sementara kepulauan ini memperoleh nama Kepulauan Hindia (Indische Archipel, Indian Archipelago, l'Archipel Indien) atau Hindia Timur (Oost Indie, East Indies, Indes Orientales). Nama lain
yang kelak juga dipakai adalah "Kepulauan Melayu" (Maleische
Archipel, Malay
Archipelago, l'Archipel
Malais). Unit politik yang berada di bawah jajahan Belanda memiliki nama
resmi Nederlandsch-Indie (Hindia-Belanda). Pemerintah pendudukan Jepang 1942-1945 memakai istilah To-Indo (Hindia Timur) untuk menyebut wilayah
taklukannya di kepulauan ini.
Eduard Douwes Dekker (1820-1887),
yang dikenal dengan nama samaran Multatuli,
pernah memakai nama yang spesifik untuk menyebutkan kepulauan Indonesia, yaitu
"Insulinde", yang artinya juga "Kepulauan Hindia"
(dalam bahasa Latin "insula"
berarti pulau). Nama "Insulinde" ini selanjutnya kurang populer,
walau pernah menjadi nama surat kabar dan organisasi pergerakan di awal abad ke-20
Kata orang apalah arti nama. Ya, apa artinya nama? Apakh pada
akhirnya nama memang sesuatu yang benar-benar ‘unik’, yang dapat membedakan
‘kita’ dengan ‘yang lain’? Nah, kalau sama terus kenapa? Dan kalau beda, memang
mau apa?
Pertanyaan itu mungkin bisa kita renungkan bersama. Walaupun perkara
‘nama’ ini kelihatannya sederhana tetapi sebenarnya ada “politik identitas”
yang termuat di dalamnnya loh… Aduh, hari gini masih ngomong politik? Enggak
banget ya?! Eits, tenang… Politik identitas ini punya definisi yang beda dari
politik kekuasan. Nah, sebelum kita masuk ke “politik identitas” itu kita
pelajari dulu yuk asal-usul nama Indonesia…
Sebelum kedatangan bangsa Eropa
PADA zaman purba kepulauan tanah air kita disebut
dengan aneka nama. Dalam catatan bangsa Tionghoa kawasan
kepulauan kita dinamai Nan-hai atau Kepulauan Laut
Selatan. Berbagai catatan kuno bangsa India menamai kepulauan ini Dwipantara, Kepulauan
Tanah Seberang, nama yang diturunkan dari kata Sansekerta,dwipa,
yang berarti pulau dan antara yang berarti luar atau seberang.
Kisah Ramayana karya pujangga Valmiki yang termasyhur itu
menceritakan pencarian terhadap Sinta, istri Ramayang diculik Ravana,
sampai ke Suwarnadwipa, Pulau Emas, yaitu Sumatra
(sekarang) yang terletak di Kepulauan Dwipantara.
Bangsa Arab menyebut tanah air kita Jaza’ir
al-Jawi, Kepulauan Jawa.
Nama Latin untuk kemenyan adalahbenzoe, berasal dari bahasa Arab luban jawi (kemenyan
Jawa), sebab para pedagang Arab memperoleh kemenyan dari batang pohon Styrax sumatrana yang dahulu hanya tumbuh di
Sumatra.
Sampai hari ini jemaah haji kita masih sering dipanggil “Jawa”
oleh orang Arab, bahkan bagi orang Indonesia luar Jawa sekalipun.
Para pedagang di Pasar Seng, Mekkah menyebut, “Samathrah, Sholibis, Sundah,
kulluh Jawi” atau “Sumatra, Sulawesi , Sunda, semuanya Jawa”.
Masa kedatangan Bangsa Eropa
Lalu tibalah zaman kedatangan orang Eropa ke Asia . Bangsa-bangsa
Eropa yang pertama kali datang beranggapan jika Asia hanya terdiri
dari Arab, Persia , India , dan Cina. Bagi mereka,
daerah yang terbentang luas antara Persia dan Cina semuanya adalah
Hindia. Semenanjung Asia Selatan mereka sebut “Hindia Muka” dan daratan Asia
Tenggara dinamai “Hindia Belakang”,
sedangkan tanah air kita memperoleh nama “Kepulauan Hindia”
(Indische Archipel, Indian Archipelago, l’Archipel Indien) atau “Hindia Timur”
(Oost Indie, East Indies , Indes Orientales). Nama lain yang juga
dipakai adalah “Kepulauan Melayu” (*Maleische Archipel,
Malay Archipelago , l’Archipel Malais).
Ketika tanah ini dijajah oleh bangsa Belanda, nama resmi yang digunakan
adalah Nederlandsch- Indie atau Hindia Belanda, sedangkan pemerintah pendudukan
Jepang 1942-1945 memakai istilah Hindia Timur atau To-Indo.
Berbagai Usulan Nama
Eduard Douwes Dekker (1820-1887), yang dikenal dengan nama samaran
Multatuli, pernah mengusulkan namayang spesifik untuk menyebutkan
kepulauan tanah air kita, yaitu
Insulinde, yang artinya juga “Kepulauan Hindia” (bahasa Latin insula
berarti pulau). Tetapi rupanya nama Insulinde ini kurang populer. Bagi
orang Bandung , Insulinde mungkin hanya dikenal sebagai nama toko
buku yang pernah ada di Jalan Otista.
Pada tahun 1920-an, Ernest Francois Eugene Douwes Dekker
(1879-1950), yang dikenal sebagai Dr. Setiabudi (cucu dari adik
Multatuli), memopulerkan suatu nama untuk tanah air kita yang tidak
mengandung unsur kata “ India ”. Nama itu tiada lain adalah
Nusantara, suatu istilah yang telah tenggelam berabad-abad lamanya.
Setiabudi mengambil nama itu dari Pararaton, naskah kuno zaman
Majapahit yang ditemukan di Bali pada akhir abad ke-19 Lalu
diterjemahkan oleh J.L.A. Brandes dan diterbitkan oleh Nicholaas Johannes Krom
pada tahun 1920.
Namun perlu dicatat bahwa pengertian
Nusantara yang diusulkan Setiabudi jauh berbeda dengan pengertian,
nusantara zaman Majapahit. Pada masa Majapahit Nusantara digunakan untuk
menyebutkan pulau-pulau di luar Jawa (antara dalam bahasa Sansekerta artinya
luar, seberang) sebagai lawan dari Jawadwipa (Pulau Jawa). Kata-kata ini
sendiri termuat dalam Sumpah Palapa yang dikumandangkan Gajah Mada, ”Lamun huwus kalah Nuswantara, isun amukti palapa”, “jika telah kalah pulau-pulau seberang, barulah saya menikmati
istirahat”. Oleh Dr. Setiabudi katanusantara zaman
Majapahit tersebut diberi pengertian yang nasionalistis.
Dengan mengambil kata Melayu asli antara, maka Nusantara
kini memiliki arti yang baru yaitu “nusa di antara dua benua dan dua
samudra”, sehingga Jawa pun termasuk dalam definisi
Nusantara yang modern. Istilah Nusantara dari Setiabudi ini dengan
cepat menjadi populer penggunaannya sebagai alternatif dari nama Hindia
Belanda. Sampai hari ini istilah Nusantara tetap kita pakai untuk
menyebutkan wilayah tanah air kita dari Sabang sampai
Merauke. Tetapi nama resmi bangsa dan
negara kita adalah Indonesia. Lalu dari mana gerangan
nama yang sukar bagi lidah Melayu ini muncul?
Nama Indonesia
Tahun 1847 di Singapura terbit sebuah majalah ilmiah tahunan, Journal
of the Indian Archipelago and Eastern Asia
(JIAEA), yang dikelola oleh James Richardson
Logan (1819-1869), seorang Skotlandia yang meraih sarjana hukum
dari Universitas Edinburgh. Kemudian pada tahun 1849 seorang ahli etnologi
bangsa Inggris, George Samuel Windsor Earl (1813-1865), menggabungkan diri
sebagai redaksi majalah JIAEA.
Dalam JIAEA Volume IV tahun 1850, halaman 66-74, Earl menulis
artikel “On the Leading
Characteristics of the Papuan, Australian and Malay-Polynesian Nations.” Dalam artikelnya itu Earl menegaskan
bahwa sudah tiba saatnya bagi penduduk Kepulauan Hindia atau Kepulauan Melayu
untuk memiliki nama khas, a distinctive
name, sebab nama Hindia Tidaklah tepat dan sering rancu dengan
penyebutan India yang lain. Earl mengajukan dua pilihan nama,
Indunesia atau Malayunesia, nesos,
dalam bahasa Yunani berarti Pulau. Pada halaman 71 artikelnya itu
tertulis, “… the
inhabitants of the Indian Archipelago or
malayan Archipelago would become respectively Indunesians or
Malayunesians.”
Earl sendiri menyatakan memilih nama Malayunesia, Kepulauan Melayu, daripada
Indunesia atau Kepulauan Hindia, sebab Malayunesia sangat tepat untuk ras Melayu,
sedangkan Indunesia bisa juga digunakan untuk Ceylon (Srilanka) dan Maldives
(Maladewa). Lagi pula, kata Earl, bukankah bahasa Melayu dipakai di
seluruh kepulauan ini? Dalam tulisannya itu Earl memang menggunakan istilah
Malayunesia dan tidak memakai istilah Indunesia. Dalam JIAEA Volume IV itu
juga, halaman 252-347, James Richardson Logan menulis artikel The Ethnology of the Indian Archipelago, Pada awal
tulisannya, Logan pun menyatakan perlunya nama khas bagi kepulauan ini, sebab
istilah “Indian Archipelago” terlalu panjang dan membingungkan. Logan memungut
nama Indunesia yang dibuang Earl, dan huruf u digantinya dengan huruf
o agar ucapannya lebih baik. Maka lahirlah istilah Indonesia.
Untuk pertama kalinya kata Indonesia muncul di dunia
dengan tercetak pada halaman 254 dalam tulisan Logan,“Mr. Earl
suggests the ethnographical term Indunesian, but rejects it in favour of
Malayunesian. I prefer the purely geographical term Indonesia , which
is merely a shorter synonym for the Indian Islands or the
Indian Archipelago.” Ketika
mengusulkan nama Indonesia agaknya Logan tidak menyadari bahwa di kemudian hari
nama itu akan menjadi nama bangsa dan negara yang jumlah penduduknya
peringkat keempat terbesar di muka bumi!
Sejak saat itu Logan secara konsisten menggunakan nama “Indonesia”
dalam tulisan-tulisan ilmiahnya, dan lambat laun pemakaian istilah ini menyebar
di kalangan para ilmuwan bidang etnologi dan geografi. Pada tahun 1884 guru
besar etnologi di Universitas Berlin yang bernama Adolf Bastian
(1826-1905) menerbitkan bukuIndonesien oder die Inseln des Malayischen Archipel sebanyak lima
volume, yang memuat hasil penelitiannya ketika mengembara
ke tanah air kita tahun 1864 sampai 1880. Buku Bastian
inilah yang memopulerkan istilah “Indonesia” di kalangan sarjana Belanda,
sehingga sempat timbul anggapan bahwa istilah “Indonesia” itu ciptaan Bastian.
Pendapat yang tidak benar itu, antara lain tercantum dalam Encyclopedie van Nederlandsch-Indie tahun 1918.
Putra pertiwi yang mula-mula menggunakan istilah “Indonesia” adalah
Suwardi Suryaningrat atau Ki Hajar Dewantara. Ketika di buang ke negeri Belanda
tahun 1913 beliau mendirikan sebuah biro pers dengan namaIndonesische
Pers-bureau.
Masa Kebangkitan Nasional: Makna
politis
Pada dasawarsa 1920-an, nama Indonesia yang merupakan istilah ilmiah dalam
etnologi dan geografi itu diambil alih oleh tokoh-tokoh pergerakan kemerdekaan
tanah air kita, sehingga nama Indonesia akhirnya memiliki makna politis, yaitu
identitas suatu bangsa yang memperjuangkan kemerdekaan. Akibatnya pemerintah
Belanda mulai curiga dan waspada terhadap pemakaian kata ciptaan Logan itu.
Pada tahun 1922 atas inisiatif Mohammad Hatta, seorang mahasiswa Handels
Hoogeschool (Sekolah Tinggi Ekonomi) di Rotterdam, organisasi pelajar dan
mahasiswa Hindia di Negeri Belanda, yang terbentuk tahun 1908 dengan nama
Indische Vereeniging, berubah nama menjadi Indonesische Vereeniging atau
Perhimpoenan Indonesia. Majalah mereka, Hindia Poetra, berganti nama menjadi
Indonesia Merdeka.
Dalam satu tulisannya Bung Hatta menegaskan, “Negara Indonesia
Merdeka yang akan datang (de toekomstige vrije Indonesische staat) mustahil
disebut Hindia Belanda. Juga tidak Hindia saja, sebab dapat menimbulkan
kekeliruan dengan India yang asli. Bagi kami nama Indonesia menyatakan suatu
tujuan politik (een politiek doel), karena melambangkan dan mencita-citakan
suatu tanah air di masa depan, dan untuk mewujudkannya tiap orang Indonesia
(Indonesier) akan berusaha dengan segala tenaga dan kemampuannya.“
Sementara itu, di tanah air Dr. Sutomo mendirikan Indonesische
Studie Club pada tahun 1924. Tahun itu juga Perserikatan Komunis Hindia
berganti nama menjadi Partai Komunis Indonesia (PKI). Lalu pada tahun 1925 Jong
Islamieten Bond membentuk kepanduan Nationaal Indonesische Padvinderij (Natipij).
Itulah tiga organisasi di tanah air yang mula-mula menggunakan nama
Indonesia. Akhirnya nama Indonesia dinobatkan sebagai nama tanah air, bangsa
dan bahasa kita pada Kerapatan Pemoeda-Pemoedi Indonesia tanggal 28 Oktober
1928, yang kini kita sebut Sumpah Pemuda. Pada bulan Agustus 1939 tiga orang
anggota Volksraad, Muhammad Husni Thamrin, Wiwoho Purbohadidjojo, dan Sutardji
Kartohadikusumo, mengajukan mosi kepada Pemerintah Belanda agar nama
“Indonesia” diresmikan sebagai pengganti nama “Nederlandsch- Indie”. Tetapi
Belanda keras kepala sehingga mosi ini ditolak mentah-mentah namun masukkanya
Jepang pada tanggal 8 Maret 1942 membuat Hindia Belanda ‘lenyap’ dan pada
akhirnya tergantikan dengan Republik Indonesia