Iklan

Tampilkan postingan dengan label Sejarah Indonesia. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Sejarah Indonesia. Tampilkan semua postingan

Jumat, 25 Maret 2016

Dakwah Tiga Materi


Bismillahirrahmanirrahim

Assalamu`alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Innalhamdalillah nahmaduhu wanasta`inuhu wanastaghfiruh, wa na`udzu billahi min syururi anfusina, wa min sayyiati a`malina, man yahdihillahu fala mudillalah wa ma man yudllilhu fala hadiyalah. Allahumma sholli `ala sayyidina Muhammad wa `ala sayyidina Muhammad.

Ikhwah Fillah, bahwasanya kajian materi pengajian di Masyarakat itu ringkasnya ada 3 masalah:
1. Akidah
2. Syari`ah
3. Akhlaq

Akidah dapat kita pelajari dalam kitab Tauhid, lalu Syari`ah dapat kita pelajari dalam Kitab-kitab Ilmu Fiqih, selanjutnya kajian pelajaran Akhlaq dapat kita pelajari dalam kitab Tasawuf. 

Ikhwatu Fillah rahimakumullah, dalam masalah akidah pada setiap ajaran yang diajarkan oleh para Nabi yang dimulai dari Nabi Adam As hingga Nabi Muhammad SAW pokok ajarannya sama yaitu masalah Dinul Islam atau Agama Islam yang titik sentral ajarannya adalah Tauhid kepada Allah SWT atau Meng-Esakan-Nya.

Dalam masalah Syari`ah, Allah SWT melalui para Nabi mengajarkan bahwa di tiap-tiap masa dan Nabi berbeda-beda Syari`ah atau pokok ajaran hukumnya. Syari`ah Nabi Adam As berbeda dengan Syari`ah Nabi Yaqub, berbeda pula dengan Syari`ah Nabi Musa hingga Syari`ah Nabi Muhammad SAW. Dalam Syari`ah Nabi Adam As misalnya dalam masalah pernikahan, Anak-anak Nabi Adam As boleh menikah antara kakak dan adik. Karena Siti Hawa melahirkan anak kembar dua dua, yang satu Qabil dan Iqlima yang kedua Habil dan labuda, dalam ajarannya Nabi Adam As melarang pernikahan antara Qabil dan Iqlima karena masih dalam satu waktu lahirnya lalu Nabi Adam As pun menikahkan Qabil dengan  Labuda kemudian Habil dengan Iqlima, walaupun hal itu tidak diinginkan oleh Qabil karena saudara kembarnya itu cantik dan Qabil menginginkan si Iqlima menjadi Istrinya, maka dari pernikahan keempat anak Nabi Adam inilah perselisihan antar manusia dimulai dengan diakhiri pembunuhan Qabil kepada Habil yang merupakan pembunuhan pertama yang dilakukan oleh manusia karena sikap serakah dan dengkinya Qabil terhadap Habil saudaranya itu.

Ikhwatu Fillah, kemudian kita teliti lagi masalah Syari`ah nya Nabi Yaqub, ketika zamannya Nabi Yaqub diperbolehkan poligami antara dua saudara sedarah, Nabi Yaqub punya istri dan dikaruniai sepuluh orang anak (Cikal bakal orang yahudi) dan si adik istrinya itu disukai oleh Nabi Yaqub dan Nabi Yaqub pun menikahi adik iparnya itu dan lahirlah Nabi Yusuf dan saudaranya Bunyamin. Namun, pernikahan seperti ini setelah Rasulullah SAW diutus Allah SWT untuk meyempurnakan ajaran Islam, Syari`at ini dihapus dan Rasul SAW melarang Poligami antara dua saudara sekandung kecuali salah satunya meninggal barulah kakak atau adiknya dinikahi. 

Ajaran Islam memang ajaran satu-satunya yang diridloi oleh Allah SWT, melalui ayat ketiga surat Al-Maidah. Ikhwati fillah yang dirahmati oleh Allah SWT, dalam menyangkut Syari`ah di negara kita Indonesia, sudah pasti dan paham bahwa negara kita menganut ajaran Pancasila namun patut kita pahami pula bahwasanya kelima asas Pancasila ini di susun berdasarkan Al-Qur`an dan Hadis, karena Pancasila sebenarnya merupakan implementasi ajaran Islam dan Al-Qur`an sudah menjelaskan isi dari kelima asas Pancasila ini.

Sila Pertama : "Ketuhanan Yang Maha Esa"
Sila ini sebetulnya ditunjukkan kepada umat Islam, karena Al-Qur`an telah menjelaskan di surat Al-Ikhlas ayat pertama "Qul huallahu ahad" bahwasanya Tuhan itu satu.

Sila Kedua : "Kemanusiaan Yang Adil Dan Beradab"
Sila ini bahwasanya Islam mengajarkan tentang arti memanusiakan manusia yang beradab
Sila Ketiga, Keempat dan Kelima merupakan isi dari ayat Al-Qur`an yang menjelaskan secara sistematis tentang Keshalihan individual dan Keshalihan sosial. Masya Allah......, betapa luar biasanya para pendiri Negara kita, karena sebetulnya mereka telah menyiapkan seluruh dasar negara ini setelah memahami Al-Qur`an dan para pendiri Negara kita sebetulnya tidak ingin menyinggung perasaan umat agama lain di Nusantara ini dan hal ini terbukti dalam Piagam Jakarta sila pertama “Ketuhanan dengan menjalankan Syaria`t Islam bagi para Pemeluk-pemeluknya”.

Bahwasanya  tim sembilan yang dipimpin oleh Bung Karno yang anggotanya mayoritas Islam dan hanya satu yang non-Muslim yakni Mr. Aa Maramis sudah setuju, sudah ketuk palu bahwa sila pertama itu berbunyi demikian, namun entah mengapa ketika esoknya sila pertama dengan 7 kalimat itu dibuang dan dibacakan "Ketuhanan Yang Maha Esa", sebenarnya umat Islam tersakiti dan dikecewakan namun Taqdir tidak bisa dipungkiri dan umat Islam harus menerima kenyataan pahit ini, dan untuk menghormati seluruh ajaran agama di Indonesia maka Pancasila sila pertama adalah "Ketuhanan Yang Maha Esa"

Ikhwatu fillah yang drahmati oleh Allah SWT selanjutnya, kita akan membahas sedikit tentang masalah tegaknya Islam di Indonesia melalui ibrah dari Jenderal Besar Sudirman. Dalam literatur yang saya baca di internet rata-rata 70 % menjelaskan kehebatan Jenderal Sudirman dalam berperang dan kecintaan beliau pada Negara, namun dibalik itu semua, Jenderal Besar Sudirman adalah seorang da`i yang taat beragama. Jenderal Sudirman sebelum berkiprah di kemiliteran sebetulnya adalah seorang Guru di HIS Muhammadiyah Cilacap, sewaktu muda beliau masuk organisasi kepanduan Muhammadiyah yang bernama Hizbul Wathon, dan disinilah Keterampilan-keterampilan kemiliteran Jenderal Sudirman di asah, ketika beliau mengajar di HIS Muhammadiyah, tentara Jepang telah sampai di Indonesia dan melucuti tentara Belanda dan akhirnya menguasai Indonesia, Naluri untuk mengusir penjajah dengan semangat jihad fissabilillah Pak Dirman Membara dan tergerak hatinya untuk kemerdekaan Republik ini, dengan memohon izin kepada pengurus HIS Muhammadiyah di Cilacap berangkatlah Pak Dirman ke Bogor untuk mengikuti pelatihan Tentara Pembela Tanah Air (PETA) di Bogor, begitu lulus pelatihan pak Dirman diangkat menjadi Panglima Divisi V/banyumas lalu ketika Tentara Keamanan rakyat dibentuk, Pak Dirman diangkat menjadi Panglima Besar (Panglima Angkatan Perang Republik Indonesia) dengan pangkat Jenderal bintang lima pertama dan termuda sepanjang sejarah TNI. 

Ikhwatu Fillah rahimakumullah, ketika agresi militer II Belanda (Aksi Polisionil) Ibukota Negara Yogyakarta (Ibukota pada waktu itu karena Kota Jakarta sudah tidak aman) jatuh ke tangan Belanda dan Presiden beserta Perdana Menteri Ir. Sukarno dan Bung Hatta ditangkap dan diasingkan, otomatis NKRI mengalami "vakum of power" dan tanpa dikomandoi, Mr. Syafrudin Prawiranegara membentuk Pemerintah Darurat Republik Indonesia di Bukittinggi dan berperan sebagai Presiden, hal ini terjadi agar Indonesia di mata Internasional tetap eksis dan tetap ada di dunia sehingga Belanda mendapat tekanan Internasional agar segera pergi meninggalkan Indonesia, dan inilah babak baru pemerintah yang dipimpin Syafrudin Prawiranegara, dengan tetap melakukan diplomasi ke dunia Internasional melalui PBB dan akhirnya Belanda dapat pergi dari Yogyakarta, namun ketika Belanda pergi dan Bung Karno dan Bung Hatta dibebaskan oleh Belanda ada satu hal yang sangat disayangkan oleh Jenderal Besar Sudirman, kenapa tampuk kekuasaan diserahkan kembali kepada Bung Karno dan Bung Hatta, kalau saja tetap kepada kita (Umat Islam) kekuasaan itu dipegang, sesungguhnya kita bisa, mungkin itulah mengapa Jenderal Sudirman sangat-sangat kecewa kepada pak Syafrudin, andai saja Pak Syafrudin ada dihadapan beliau tentu saja mungkin Pak Syafrudin ini di kasih pemahaman bahwa kita sebagai umat Islam mampu untuk memimpin Negara, namun itulah taqdir-Nya yang sudah digariskan Indonesia tetap tegak berdiri dibawah naungan Illahi Rabbi dengan asasnya Pancasila dan Indonesia takkan ada tanpa Perjuangan Para pendahulu dan Pendiri Negara ini.

Mungkin inilah sekelumit materi pengajian malam jum`at ini yang insya Allah membuat kita semangat untuk berjuang agar kalimat Allah tetap bergema di negeri ini dan Insya Allah mari kita doakan agar pemerintah Islam dapat memimpin negara ini dan dapat memimpin dunia pada waktunya.

Billahi fissabilil haq

Wasalamu`alaikum Warahmatullahi Wa Barakatuh

(Ditulis oleh Yadi Suryadi)

Rabu, 10 Juni 2015

Sjafruddin Prawiranegara: Presiden RI yang Terlupakan

Seorang tokoh nasional yang pernah menjabat Presiden RI, namun ‘terlupakan’ dalam sejarah Indonesia.  

Sjafruddin Prawiranegara (lahir di Banten, 28 Februari 1911 wafat di Jakarta 15 Februari 1989) pernah memimpin Republik Indonesia ketika berkedudukan di Bukit Tinggi, Sumatera Barat.  Kenyataan ini tidak dapat dipungkiri ketika Soekarno — Hatta pada 19 Desember 1948 sebagai dampak dari Agresi Militer Belanda II mengeluarkan surat pernyataan yang memerintahkan Mr. Sjafruddin yang pada saat itu menjabat sebagai Menteri Kemakmuran untuk membentuk sekaligus mengetuai Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI).  

Namun dalam perkembangannya, nama Mr. Sjafruddin seperti tenggelam, dan banyak yang tidak mengenal beliau, baik secara pribadi atau kiprah beliau sebagai negarawan.  Jabatan kenegaraan yang pernah dipegang beliau adalah Wakil Perdana Menteri dari Kabinet Hatta, Menteri Keuangan, Menteri Kemakmuran, Menteri Pertahanan, Menteri Penerangan dan Urusan Luar Negeri, dan tentu saja sebagai Perdana Menteri/Ketua Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) yang oleh Bung Hatta menyebutnya sebagai Presiden Darurat. 

Sumber : AM Fatwa dlm buku “Sekilas Catatan Satu Abad Mr. Sjafruddin Prawiranegara 1911-2011″

(Ditulis kembali oleh Yadi Suryadi)

Sabtu, 25 April 2015

Mosi Integral M. Natsir

3 April 65 tahun yang lalu, Mohammad Natsir (1908-1993) menyampaikan pidato di Dewan Perwakilan Rakyat Sementara Republik Indonesia Serikat (DPRS RIS). Pidato itu diberi judul Mosi Integral. Konferensi Meja Bundar di Den Haag, Belanda, 23 Agustus-2 November 1949 menghasilkan empat hal sebagai berikut: (1) Kerajaan Belanda dan Republik Indonesia Serikat setuju membentuk Uni yang longgar antara Negeri Belanda dan RIS dengan Ratu Belanda sebagai pimpinan simbolis; (2) Sukarno dan Mohammad Hatta akan menjabat Presiden dan Wakil Presiden, dan antara 1949-1950 Hatta akan merangkap menjadi Perdana Menteri RIS; (3) Belanda masih akan mempertahankan Irian Barat, sekarang Papua, dan tidak ikut dalam RIS sampai ada perundingan lebih lanjut; dan (4) Pemerintah RIS harus menanggung hutang pemerintah Hindia-Belanda sebesar 4,3 miliar Gulden.

Pada tanggal 27 Desember 1949 Belanda secara resmi menyerahkan (dalam versi Indonesia: mengakui) kedaulatan Indonesia, minus Irian Barat. Hasil KMB menimbulkan kontroversi baik di kalangan pemimpin maupun rakyat Indonesia. H. Agus Salim dan M. Natsir termasuk yang menolak hasil KMB dan karena itu pula menolak masuk dalam Kabinet RIS.

Tinta pengakuan kedaulatan belum lagi kering, pada 4 Januari 1950 DPRD Malang di Negara Bagian Jawa Timur mencetuskan resolusi untuk melepaskan diri dari Negara Jawa Timur dan menggabungkan diri dengan Negara Republik Indonesia di Yogyakarta. Pada 30 Januari tahun yang sama, DPRD Kabupaten Sukabumi di Negara Bagian Pasundan, juga mengeluarkan resolusi yang sama: keluar dari Negara Pasundan dan bergabung ke Negara RI. Selain dua resolusi itu, di banyak daerah telah muncul suara-suara untuk bergabung dengan Negara RI. Malah di Negara Bagian Sumatera Timur, demonstrasi besar menolak RIS menyebabkan polisi harus bertindak menertibkan demo.

Resolusi dan unjuk rasa di berbagai daerah itu telah menarik perhatian Parlemen RIS. Suatu penyelesaian integral harus ditemukan. Ketua Fraksi Masyumi di Parlemen RIS, M. Natsir mengambil inisiatif. Ia bertukar pikiran dengan para ketua fraksi untuk mengetahui apa yang hidup di kalangan parlemen. Ia melakukan pembicaraan dengan pemimpin fraksi yang sangat kiri, Ir. Sakirman dari Partai Komunis Indonesia, dan yang sangat kanan dengan Tuan Sahetapy Engel wakil dari BFO.

Dari pembicaraan itu, Natsir menyimpulkan bahwa para pemimpin Negara Bagian menolak gagasan pembubaran Negara-negara Bagian itu. Sedangkan para pemimpin RI di Yogyakarta ingin kembali ke negara kesatuan sesuai Proklamasi 17 Agustus 1945. Kepada para pemimpin RI di Yogya, Natsir mengatakan bahwa kita punya program yakni program mempersatukan kembali Indonesia. Dua cara mencapai tujuan itu: pertama, kita perangi semua negara bagian sampai mereka kalah dan kemudian kita menjadi satu. Kedua, kita tidak perlu berperang. Kita ajak mereka membubarkan diri dengan maksud untuk bersatu. “Kita, Negara RI di Yogya punya Dwitunggal Sukarno-Hatta. Negara Bagian lain, tidak,” kata Natsir.

M. Natsir. (Sumber foto: KITLV Digital Image Library http://media-kitlv.nl/all-media/indeling/detail/form/advanced?q_searchfield=natsir)

M. Natsir.

Selanjutnya Natsir berkata: “Dalam sejarah jangan kita lupakan faktor pribadi. Mutu pribadi orang itu menunjukkan ‘siapa itu’ Sukarno-Hatta. Tidak akan ada yang bisa mengatakan ‘tidak’ kalau kita majukan Sukarno-Hatta untuk menjadi Presiden dan Wakil Presiden RI. Sedangkan kita, diam sajalah. Kalau diperlukan, ya, dipakai; dan kalau tidak, ya, tidak apa-apa. Pokoknya tidak ada satu pun dari negara-negara bagian itu yang akan menolak Sukarno-Hatta. Di sinilah fungsi Sukarno-Hatta untuk mempersatukan, untuk memproklamasikan, dan untuk mempersatukan kembali.”

Dengan pendekatan yang sangat arif itu, Mosi Integral Natsir diterima secara aklamasi oleh Parlemen RIS. Perdana Menteri Hatta menyambut baik Mosi Integral Natsir dan menegaskan akan menggunakan Mosi Integral Natsir sebagai pedoman dalam memecahkan persoalan-persoalan yang dihadapi. Sebagai demikian Mosi Integral Natsir telah menjadi jalan paling elegan kembali ke Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Pada 17 Agustus 1950, bersamaan dengan perayaan hari ulang tahun kelima Proklamasi Kemerdekaan, Presiden Sukarno mengumumkan lahirnya NKRI. Seorang ilmuwan politik, Dr. Mohammad Noer, dalam sebuah seminar di Padang pada pertengahan 2007 menyatakan, sesungguhnya Indonesia memiliki dua buah proklamasi. Pertama, Proklamasi Kemerdekaan pada 17 Agustus 1945; kedua, Proklamasi berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) pada 17 Agustus 1950. Dua proklamasi itu proklamatornya sama: Sukarno dan Mohammad Hatta.

Jika pada proklamasi yang pertama, Sukarno-Hatta menyatakan dirinya atas nama bangsa Indonesia, maka pada proklamasi yang kedua, Sukarno adalah Presiden RIS, dan Hatta adalah Perdana Menteri RIS. Akan tetapi, menurut Noer, yang lebih penting adalah perbedaan makna dan sejarah dari kedua proklamasi itu sendiri.

Proklamasi 1945 adalah pernyataan bahwa penjajahan kolonial terhadap bangsa Indonesia telah berakhir dan bangsa ini menyatakan kemerdekaannya. Proklamasi 1950 adalah proklammasi berdirinya NKRI adalah pernyataan pembubaran 16 Negara Bagian yang tergabung dalam RIS, termasuk Negara Republik Indonesia Yogyakarta (yang diproklamasikan 17 Agustus 1945) dan meleburkan diri ke dalam sebuah negara baru bernama Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Siapa saja yang jujur dalam membaca sejarah, pasti mengakui pemikiran jernih dan kerja cerdas Natsir yang telah berhasil memulihkan NKRI secara damai, tanpa satu peluru pun yang ditembakkan, tanpa setetes darah pun yang ditumpahkan, dan tanpa segolongan atau seorang pun yang dipermalukan.
Tugas kita sekarang, bukan saja menghargai Mohammad Natsir sesuai dengan jasa besarnya terhadap Indonesia, juga menjaga tetap utuhnya NKRI, dan menghempang segenap potensi disintegrasi bangsa.
Mosi Integral Natsir dapat disebut juga sebagai prestasi terbaik parlemen Indonesia yang para anggota parlemen masa kini jangan-jangan sudah tidak mengingatnya lagi.


Sumber : Lukman Hakiem. (Penulis adalah anggota DPR-RI 1997-1999 dan 2004-2009. Menulis dan Menyunting beberapa buku).

(Ditulis Kembali oleh Yadi Suryadi)

Jumat, 10 April 2015

Mengenang Kembali Konflik Indonesia-Belanda (1945-1949) Part VI (TAMAT)

RENTETAN PERISTIWA 1948-1949

Agresi Militer II

Serangan Umum 1 Maret 1949 atas Yogyakarta


Perjanjian Roem Royen


Serangan Umum Surakarta


Konferensi Meja Bundar

  • Belanda mengakui kedaulatan Republik Indonesia Serikat.
  • Irian Barat akan diselesaikan setahun setelah pengakuan kedaulatan.

 

Penyerahan kedaulatan oleh Belanda

Bung Hatta di Amsterdam, Belanda menandatangani perjanjian penyerahan kedaulatan.



Belanda mengakui kemerdekaan Indonesia pada 27 Desember 1949, selang empat tahun setelah proklamasi kemerdekaan RI pada 17 Agustus 1945. Pengakuan ini dilakukan ketika soevereiniteitsoverdracht (penyerahan kedaulatan) ditandatangani di Istana Dam, Amsterdam. Di Belanda selama ini juga ada kekhawatiran bahwa mengakui Indonesia merdeka pada tahun 1945 sama saja mengakui tindakan politionele acties (Aksi Polisionil) pada 1945-1949 adalah ilegal.


TAMAT

Sumber : Buku Sejarah Nasional Indonesia karya Marwati Djoened Poesponegoro; Nugroho Notosusanto

(Ditulis Kembali oleh Yadi Suryadi) 

Kamis, 09 April 2015

Mengenang Kembali Konflik Indonesia-Belanda (1945-1949) Part V

Agresi Militer I


Pada tanggal 27 Mei 1947, Belanda mengirimkan Nota Ultimatum, yang harus dijawab dalam 14 hari, yang berisi:
  1. Membentuk pemerintahan ad interim bersama;
  2. Mengeluarkan uang bersama dan mendirikan lembaga devisa bersama;
  3. Republik Indonesia harus mengirimkan beras untuk rakyat di daerahdaerah yang diduduki Belanda;
  4. Menyelenggarakan keamanan dan ketertiban bersama, termasuk daerah daerah Republik yang memerlukan bantuan Belanda (gendarmerie bersama); dan
  5. Menyelenggarakan penilikan bersama atas impor dan ekspor
Perdana Menteri Sjahrir menyatakan kesediaan untuk mengakui kedaulatan Belanda selama masa peralihan, tetapi menolak gendarmerie bersama. Jawaban ini mendapatkan reaksi keras dari kalangan parpol-parpol di Republik.

Ketika jawaban yang memuaskan tidak kunjung tiba, Belanda terus "mengembalikan ketertiban" dengan "tindakan kepolisian". Pada tanggal 20 Juli 1947 tengah malam (tepatnya 21 Juli 1947) mulailah pihak Belanda melancarkan 'aksi polisionil' mereka yang pertama.
Aksi Belanda ini sudah sangat diperhitungkan sekali dimana mereka telah menempatkan pasukan-pasukannya di tempat yang strategis. Pasukan yang bergerak dari Jakarta dan Bandung untuk menduduki Jawa Barat (tidak termasuk Banten), dan dari Surabaya untuk menduduki Madura dan Ujung Timur. Gerakan-gerakan pasukan yang lebih kecil mengamankan wilayah Semarang. Dengan demikian, Belanda menguasai semua pelabuhan perairan-dalam di Jawa Di Sumatera, perkebunan-perkebunan di sekitar Medan, Instalasi-instalasi minyak dan batubara di sekitar Palembang, dan daerah Padang diamankan. Melihat aksi Belanda yang tidak mematuhi perjanjian Linggarjati membuat Sjahrir bingung dan putus asa, maka pada bulan Juli 1947 dengan terpaksa mengundurkan diri dari jabatannya sebagai Perdana Menteri, karena sebelumnya dia sangat menyetujui tuntutan Belanda dalam menyelesaikan konflik antara pemerintah RI dengan Belanda.

Menghadapi aksi Belanda ini, bagi pasukan Republik hanya bisa bergerak mundur dalam kebingungan dan hanya menghancurkan apa yang dapat mereka hancurkan. Dan bagi Belanda, setelah melihat keberhasilan dalam aksi ini menimbulkan keinginan untuk melanjutkan aksinya kembali. Beberapa orang Belanda, termasuk van Mook, berkeinginan merebut Yogyakarta dan membentuk suatu pemerintahan Republik yang lebih lunak, tetapi pihak Amerika dan Inggris yang menjadi sekutunya tidak menyukai 'aksi polisional' tersebut serta menggiring Belanda untuk segera menghentikan penaklukan sepenuhnya terhadap Republik.

Naiknya Amir Syarifudin sebagai Perdana Menteri


Setelah terjadinya Agresi Militer Belanda I pada bulan Juli, pengganti Sjahrir adalah Amir Syarifudin yang sebelumnya menjabat sebagai Menteri Pertahanan. Dalam kapasitasnya sebagai Perdana Menteri, dia menggaet anggota PSII yang dulu untuk duduk dalam Kabinetnya. Termasuk menawarkan kepada S.M. Kartosoewirjo untuk turut serta duduk dalam kabinetnya menjadi Wakil Menteri Pertahanan kedua. Seperti yang dijelaskan dalam sepucuk suratnya kepada Soekarno dan Amir Syarifudin, dia menolak kursi menteri karena "ia belum terlibat dalam PSII dan masih merasa terikat kepada Masyumi".
S.M. Kartosoewirjo menolak tawaran itu bukan semata-mata karena loyalitasnya kepada Masyumi. Penolakan itu juga ditimbulkan oleh keinginannya untuk menarik diri dari gelanggang politik pusat. Akibat menyaksikan kondisi politik yang tidak menguntungkan bagi Indonesia disebabkan berbagai perjanjian yang diadakan pemerintah RI dengan Belanda. Di samping itu Kartosoewirjo tidak menyukai arah politik Amir Syarifudin yang kekiri-kirian. Kalau dilihat dari sepak terjang Amir Syarifudin selama manggung di percaturan politik nasional dengan menjadi Perdana Menteri merangkap Menteri Pertahanan sangat jelas terlihat bahwa Amir Syarifudin ingin membawa politik Indonesia ke arah Komunis.

 

1948

Perjanjian Renville

Sementara peperangan sedang berlangsung, Dewan Keamanan PBB, atas desakan Australia dan India, mengeluarkan perintah peletakan senjata tanggal 1 Agustus 1947, dan segera setelah itu mendirikan suatu Komisi Jasa-Jasa Baik, yang terdiri dari wakil-wakil Australia, Belgia dan Amerika Serikat, untuk menengahi perselisihan itu .

Tanggal 17 Januari 1948 berlangsung konferensi di atas kapal perang Amerika Serikat, Renville, ternyata menghasilkan persetujuan lain, yang bisa diterima oleh yang kedua belah pihak yang berselisih. Akan terjadi perdamaian yang mempersiapkan berdirinya zone demiliterisasi Indonesia Serikat akan didirikan, tetapi atas garis yang berbeda dari persetujuan Linggarjati, karena plebisit akan diadakan untuk menentukan apakah berbagai kelompok di pulau-pulau besar ingin bergabung dengan Republik atau beberapa bagian dari federasi yang direncanakan Kedaulatan Belanda akan tetap atas Indonesia sampai diserahkan pada Indonesia Serikat.

Pada tanggal 19 Januari ditandatangani persetujuan Renville Wilayah Republik selama masa peralihan sampai penyelesaian akhir dicapai, bahkan lebih terbatas lagi ketimbang persetujuan Linggarjati : hanya meliputi sebagian kecil Jawa Tengah (Jogja dan delapan Keresidenan) dan ujung barat pulau Jawa -Banten tetap daerah Republik Plebisit akan diselenggarakan untuk menentukan masa depan wilayah yang baru diperoleh Belanda lewat aksi militer. Perdana menteri Belanda menjelaskan mengapa persetujuan itu ditandatangani agar Belanda tidak "menimbulkan rasa benci Amerika".
Sedikit banyak, ini merupakan ulangan dari apa yang terjadi selama dan sesudah perundingan Linggarjati. Seperti melalui persetujuan Linggarjati, melalui perundingan Renville, Soekarno dan Hatta dijadikan lambang kemerdekaan Indonesia dan persatuan Yogyakarta hidup lebih lama, jantung Republik terus berdenyut. Ini kembali merupakan inti keuntungan Seperti sesudah persetujuan Linggarjati, pribadi lain yang jauh dari pusat kembali diidentifikasi dengan persetujuan -dulu Perdana Menteri Sjahrir, kini Perdana Menteri Amir- yang dianggap langsung bertanggung jawab jika sesuatu salah atau dianggap salah.

Runtuhnya Kabinet Amir dan naiknya Mohammad Hatta sebagai Perdana Menteri

Image result for runtuhnya kabinet amir

Dari adanya Agresi Militer I dengan hasil diadakannya Perjanjian Renville menyebabkan jatuhnya Kabinet Amir. Seluruh anggota yang tergabung dalam kabinetnya yang terdiri dari anggota PNI dan Masyumi meletakkan jabatan ketika Perjanjian Renville ditandatangani, disusul kemudian Amir sendiri meletakkan jabatannya sebagai Perdana Menteri pada tanggal 23 Januari 1948. Dengan pengunduran dirinya ini dia mungkin mengharapkan akan tampilnya kabinet baru yang beraliran komunis untuk menggantikan posisinya. Harapan itu menjadi buyar ketika Soekarno berpaling ke arah lain dengan menunjuk Hatta untuk memimpin suatu 'kabinet presidentil' darurat (1948-1949), dimana seluruh pertanggungjawabannya dilaporkan kepada Soekarno sebagai Presiden.
Dengan terpilihnya Hatta, dia menunjuk para anggota yang duduk dalam kabinetnya mengambil dari golongan tengah, terutama orang-orang PNI, Masyumi, dan tokoh-tokoh yang tidak berpartai. Amir dan kelompoknya dari sayap kiri kini menjadi pihak oposisi. Dengan mengambil sikap sebagai oposisi tersebut membuat para pengikut Sjahrir mempertegas perpecahan mereka dengan pengikut-pengikut Amir dengan membentuk partai tersendiri yaitu Partai Sosialis Indonesia (PSI), pada bulan Februari 1948, dan sekaligus memberikan dukungannya kepada pemerintah Hatta.
Memang runtuhnya Amir datang bahkan lebih cepat ketimbang Sjahrir, enam bulan lebih dulu Amir segera dituduh -kembali khususnya oleh Masyumi dan kemudian Partai Nasional Indonesia- terlalu banyak memenuhi keinginan pihak asing. Hanya empat hari sesudah Perjanjian Renville ditandatangani, pada tanggal 23 Januari 1948, Amir Syarifudin dan seluruh kabinetnya berhenti. Kabinet baru dibentuk dan susunannya diumumkan tanggal 29 Januari 1948. Hatta menjadi Perdana Menteri sekaligus tetap memangku jabatan sebagai Wakil Presiden.
Tampaknya kini lebih sedikit jalan keluar bagi Amir dibanding dengan Sjahrir sesudah Perundingan Linggarjati; dan lebih banyak penghinaan. Beberapa hari sesudah Amir berhenti, di awal Februari 1948, Hatta membawa Amir dan beberapa pejabat Republik lainnya mengelilingi Provinsi. Amir diharapkan menjelaskan Perjanjian Renville. Pada rapat raksasa di Bukittinggi, Sumatera Barat, di kota kelahiran Hatta -dan rupanya diatur sebagai tempat berhenti terpenting selama perjalanan- Hatta berbicara tentang kegigihan Republik, dan pidatonya disambut dengan hangat sekali.
Kemudian Amir naik mimbar, dan seperti diuraikan Hatta kemudian: "Dia tampak bingung, seolah-olah nyaris tidak mengetahui apa ayang harus dikatakannya. Dia merasa bahwa orang rakyat Bukittinggi tidak menyenanginya, khususnya dalam hubungan persetujuan dengan Belanda. Ketika dia meninggalkan mimbar, hampir tidak ada yang bertepuk tangan"
Menurut peserta lain: "Wajah Amir kelihatannya seperti orang yang sudah tidak berarti". Sjahrir juga diundang ke rapat Bukittinggi ini; dia datang dari Singapura dan berpidato. Menurut Leon Salim -kader lama Sjahrir- "Sjahrir juga kelihatan capai dan jarang tersenyum". Menurut kata-kata saksi lain, "Seolah-olah ada yang membeku dalam wajah Sjahrir" dan ketika gilirannya berbicara "Dia hanya mengangkat tangannya dengan memberi salam Merdeka dan mundur". Hatta kemudian juga menulis dengan singkat tentang pidato Sjahrir: "Pidatonya pendek". Dipermalukan seperti ini, secara psikologis amat mungkin menjadi bara dendam yang menyulut Amir untuk memberontak di kemudian hari.
Perjanjian Renville tidak lebih baik daripada perundingan di Linggarjati. Kedua belah pihak menuduh masing-masing melanggar perdamaian, dan Indonesia menuduh Belanda mendirikan blokade dengan maksud memaksanya menyerah. Bulan Juli 1948, Komisi Jasa-jasa Baik, yang masih ada di tempat mengawasi pelaksanaan persetujuan itu, melaporkan bahwa Indonesia mengeluh akan gencatan senjata yang berulang-ulang.

Sumber : Buku Sejarah Nasional Indonesia Karya Marwati Djoened Poesponegoro; Nugroho 
               Notosusanto

(Ditulis Kembali oleh Yadi Suryadi)

Minggu, 05 April 2015

Mengenang Kembali Konflik Indonesia-Belanda (1945-1949) Part IV

Rentetan Peristiwa 1946-1947

Peristiwa Westerling


Pembantaian Westerling adalah sebutan untuk peristiwa pembunuhan ribuan rakyat sipil di Sulawesi Selatan yang dilakukan oleh pasukan Belanda Depot Speciale Troepen pimpinan Westerling. Peristiwa ini terjadi pada Desember 1946-Februari 1947 selama operasi militer Counter Insurgency (penumpasan pemberontakan).

 

Perjanjian Linggarjati

Bulan Agustus pemerintah Belanda melakukan usaha lain untuk memecah halangan dengan menunjuk tiga orang Komisi Jendral datang ke Jawa dan membantu Van Mook dalam perundingan baru dengan wakil-wakil republik itu. Konferensi antara dua belah pihak diadakan di bulan Oktober dan November di bawah pimpinan yang netral seorang komisi khusus Inggris, Lord Killearn. Bertempat di bukit Linggarjati dekat Cirebon. Setelah mengalami tekanan berat -terutama Inggris- dari luar negeri, dicapailah suatu persetujuan tanggal 15 November 1946 yang pokok pokoknya sebagai berikut:
  • Belanda mengakui secara de facto Republik Indonesia dengan wilayah kekuasaan yang meliputi Sumatra, Jawa dan Madura. Belanda harus meninggalkan wilayah de facto paling lambat 1 Januari 1949.
  • Republik Indonesia dan Belanda akan bekerja sama dalam membentuk Negara Indonesia Serikat dengan nama Republik Indonesia Serikat yang salah satu bagiannya adalah Republik Indonesia.
  • Republik Indonesia Serikat dan Belanda akan membentuk Uni Indonesia - Belanda dengan Ratu Belanda sebagai ketuanya.
Untuk ini Kalimantan dan Timur Raya akan menjadi komponennya. Sebuah Majelis Konstituante didirikan, yang terdiri dari wakil-wakil yang dipilih secara demokratis dan bagian-bagian komponen lain. Indonesia Serikat pada gilirannya menjadi bagian Uni Indonesia-Belanda bersama dengan Belanda, Suriname dan Curasao. Hal ini akan memajukan kepentingan bersama dalam hubungan luar negeri, pertahanan, keuangan dan masalah ekonomi serta kebudayaan. Indonesia Serikat akan mengajukan diri sebagai anggota PBB. Akhirnya setiap perselisihan yang timbul dari persetujuan ini akan diselesaikan lewat arbitrase.
Kedua delegasi pulang ke Jakarta, dan Soekarno-Hatta kembali ke pedalaman dua hari kemudian, pada tanggal 15 November 1946, di rumah Sjahrir di Jakarta, berlangsung pemarafan secara resmi Perundingan Linggarjati. Sebenarnya Soekarno yang tampil sebagai kekuasaan yang memungkinkan tercapainya persetujuan, namun, Sjahrir yang diidentifikasikan dengan rancangan, dan yang bertanggung jawab bila ada yang tidak beres.

Peristiwa yang terjadi terkait dengan hasil perundingan Linggarjati

Parade Tentara Republik Indonesia (TRI) di Purwakarta, Jawa Barat, pada tanggal 17 Januari 1947.

Pada bulan Februari dan Maret 1947 di Malang, S M Kartosuwiryo ditunjuk sebagai salah seorang dari lima anggota Masyumi dalam komite Eksekutif, yang terdiri dari 47 anggota untuk mengikuti sidang KNIP (Komite Nasional Indonesia Pusat), dalam sidang tersebut membahas apakah Persetujuan Linggarjati yang telah diparaf oleh Pemerintah Republik dan Belanda pada bulan November 1946 akan disetujui atau tidak Kepergian S M Kartosoewirjo ini dikawal oleh para pejuang Hizbullah dari Jawa Barat, karena dalam rapat tersebut kemungkinan ada dua kubu yang bertarung pendapat sangat sengit, yakni antara sayap sosialis (diwakili melalui partai Pesindo), dengan pihak Nasionalis-Islam (diwakili lewat partai Masyumi dan PNI). Pihak sosialis ingin agar KNPI menyetujui naskah Linggarjati tersebut, sedang pihak Masyumi dan PNI cenderung ingin menolaknya Ketika anggota KNIP yang anti Linggarjati benar-benar diancam gerilyawan Pesindo, Sutomo (Bung Tomo) meminta kepada S M Kartosoewirjo untuk mencegah pasukannya agar tidak menembaki satuan-satuan Pesindo.

DR H J Van Mook kepala Netherland Indies Civil Administration (NICA) yang kemudian diangkat sebagai Gubernur Jendral Hindia Belanda, dengan gigih memecah RI yang tinggal 3 pulau ini Bahkan sebelum naskah itu ditandatangani pada tanggal 25 Maret 1947, Tanggal 28 Maret 1947 ia telah memaksa terwujudnya Negara Indonesia Timur, dengan presiden Sukowati, lewat Konferensi Denpasar tanggal 18 - 24 Desember 1946
Pada bulan tanggal 25 Maret 1947 hasil perjanjian Linggarjati ditandatangani di Batavia Partai Masyumi menentang hasil perjanjian tersebut, banyak unsur perjuang Republik Indonesia yang tak dapat menerima pemerintah Belanda merupakan kekuasaan berdaulat di seluruh Indonesia.  Dengan seringnya pecah kekacauan, maka pada prakteknya perjanjian tersebut sangat sulit sekali untuk dilaksanakan.

Proklamasi Negara Pasundan

Usaha Belanda tidak berakhir sampai di NIT. Dua bulan setelah itu, Belanda berhasil membujuk Ketua Partai Rakyat Pasundan, Soeria Kartalegawa, memproklamasikan Negara Pasundan pada tanggal 4 Mei 1947. Secara militer negara baru ini sangat lemah, ia benar benar sangat tergantung pada Belanda, tebukti ia baru eksis ketika Belanda melakukan Agresi dan kekuatan RI hengkang dari Jawa Barat.

Di awal bulan Mei 1947 pihak Belanda yang memprakarsai berdirinya Negara Pasundan itu memang sudah merencanakan bahwa mereka harus menyerang Republik secara langsung. Kalangan militer Belanda merasa yakin bahwa kota-kota yang dikuasai pihak Republik dapat ditaklukkan dalam waktu dua minggu dan untuk menguasai seluruh wilayah Republik dalam waktu enam bulan. Namun mereka pun menyadari begitu besarnya biaya yang ditanggung untuk pemeliharaan suatu pasukan bersenjata sekitar 100.000 serdadu di Jawa, yang sebagian besar dari pasukan itu tidak aktif, merupakan pemborosan keuangan yang serius yang tidak mungkin dipikul oleh perekonomian negeri Belanda yang hancur diakibatkan perang. Oleh karena itu untuk mempertahankan pasukan ini maka pihak Belanda memerlukan komoditi dari Jawa (khususnya gula) dan Sumatera (khususnya minyak dan karet).

Sumber : Buku Sejarah Nasional Indonesia Karya Marwati Djoened Poesponegoro; Nugroho 
               Notosusanto

(Ditulis Kembali oleh Yadi Suryadi)

Sabtu, 04 April 2015

Mengenang Kembali Konflik Indonesia-Belanda (1945-1949) Part III

Penculikan terhadap PM Sjahrir

Tanggal 27 Juni 1946, dalam Pidato Peringatan Isra Mi'raj Nabi Muhammad SAW, Wakil Presiden Hatta menjelaskan isi usulan balasan di depan rakyat banyak di alun-alun utama Yogyakarta, dihadiri oleh Soekarno dan sebagian besar pucuk pimpinan politik. Dalam pidatonya, Hatta menyatakan dukungannya kepada Sjahrir, akan tetapi menurut sebuah analisis, publisitas luas yang diberikan Hatta terhadap surat itu, menyebabkan kudeta dan penculikan terhadap Sjahrir.

Pada malam itu terjadi peristiwa penculikan terhadap Perdana Menteri Sjahrir, yang sudah terlanjur dicap sebagai "pengkhianat yang menjual tanah airnya". Sjahrir diculik di Surakarta, ketika ia berhenti dalam perjalanan politik menelusuri Jawa. Kemudian ia dibawa ke Paras, kota dekat Solo, di rumah peristirahatan seorang pangeran Solo dan ditahan di sana dengan pengawasan Komandan Batalyon setempat.
Pada malam tanggal 28 Juni 1946, Ir Soekarno berpidato di radio Yogyakarta. Ia mengumumkan, "Berhubung dengan keadaan di dalam negeri yang membahayakan keamanan negara dan perjuangan kemerdekaan kita, saya, Presiden Republik Indonesia, dengan persetujuan Kabinet dan sidangnya pada tanggal 28 Juni 1946, untuk sementara mengambil alih semua kekuasaan pemerintah". Selama sebulan lebih, Soekarno mempertahankan kekuasaan yang luas yang dipegangnya. Tanggal 3 Juli 1946, Sjahrir dibebaskan dari penculikan; namun baru tanggal 14 Agustus 1946, Sjahrir diminta kembali untuk membentuk kabinet.

Kembali menjadi PM

Tanggal 2 Oktober 1946, Sjahrir kembali menjadi Perdana Menteri, Sjahrir kemudian berkomentar, "Kedudukan saya di kabinet ketiga diperlemah dibandingkan dengan kabinet kedua dan pertama. Dalam kabinet ketiga saya harus berkompromi dengan Partai Nasional Indonesia dan Masyumi... Saya harus memasukkan orang seperti Gani dan Maramis lewat Soekarno; saya harus menanyakan pendapatnya dengan siapa saya membentuk kabinet."

Konferensi Malino - Terbentuknya "negara" baru


Bulan Juni 1946 suatu krisis terjadi dalam pemerintahan Republik Indonesia, keadaan ini dimanfaatkan oleh pihak Belanda yang telah mengusai sebelah Timur Nusantara. Dalam bulan Juni diadakan konferensi wakil-wakil daerah di Malino, Sulawesi, di bawah Dr. Van Mook dan minta organisasi-organisasi di seluruh Indonesia masuk federasi dengan 4 bagian; Jawa, Sumatra, Kalimantan dan Timur Raya.

Sumber : Buku Sejarah Nasional Indonesia Karya Marwati Djoened Poesponegoro; Nugroho 
               Notosusanto

(Ditulis Kembali oleh Yadi Suryadi)

Jumat, 03 April 2015

Mengenang Kembali Konflik Indonesia-Belanda (1945-1949) Part II



Image result for konflik Indonesia Belanda (1945-1949)

Pertempuran melawan Sekutu dan NICA
Terdapat berbagai pertempuran yang terjadi pada saat masuknya Sekutu dan NICA ke Indonesia, yang saat itu baru menyatakan kemerdekaannya. Pertempuran yang terjadi di antaranya adalah:
  1. Peristiwa 10 November, di daerah Surabaya dan sekitarnya.
  2. Palagan Ambarawa, di daerah Ambarawa, Semarang dan sekitarnya.
  3. Perjuangan Gerilya Jenderal Soedirman, meliputi Jawa Tengah dan Jawa Timur
  4. Bandung Lautan Api, di daerah Bandung dan sekitarnya.
  5. Pertempuran Medan Area, di daerah Medan dan sekitarnya.
  6. Pertempuran Margarana, di Bali
  7. Serangan Umum 1 Maret 1949, di Yogyakarta
  8. Pertempuran Lima Hari Lima Malam, di Palembang
  9. Pertempuran Lima Hari, di Semarang 

Ibukota pindah ke Yogyakarta
Karena situasi keamanan ibukota Jakarta (Batavia saat itu) yang makin memburuk, maka pada tanggal 4 Januari 1946, Soekarno dan Hatta dengan menggunakan kereta api, pindah ke Yogyakarta sekaligus pula memindahkan ibukota. Meninggalkan Sutan Syahrir dan kelompok yang pro-negosiasi dengan Belanda di Jakarta.
Pemindahan ke Yogyakarta dilakukan dengan menggunakan kereta api, yang disebut dengan singkatan KLB (Kereta Luar Biasa). Orang lantas berasumsi bahwa rangkaian kereta api yang digunakan adalah rangkaian yang terdiri dari gerbong-gerbong luar biasa. Padahal yang luar biasa adalah jadwal perjalanannya, yang diselenggarakan di luar jadwal yang ada, karena kereta dengan perjalanan luar biasa ini, mengangkut Presiden beserta Wakil Presiden, dengan keluarga dan staf, gerbong-gerbongnya dipilihkan yang istimewa, yang disediakan oleh Djawatan Kereta Api (DKA) untuk VVIP.

Rentetan Peristiwa di 1946

Perubahan sistem pemerintahan

Pernyataan van Mook untuk tidak berunding dengan Soekarno adalah salah satu faktor yang memicu perubahan sistem pemerintahan dari presidensial menjadi parlementer. Gelagat ini sudah terbaca oleh pihak Republik Indonesia, karena itu sehari sebelum kedatangan Sekutu, tanggal 14 November 1945, Soekarno sebagai kepala pemerintahan republik diganti oleh Sutan Sjahrir yang seorang sosialis dianggap sebagai figur yang tepat untuk dijadikan ujung tombak diplomatik, bertepatan dengan naik daunnya partai sosialis di Belanda.

Terjadinya perubahan besar dalam sistem pemerintahan Republik Indonesia (dari sistem Presidensiil menjadi sistem Parlementer) memungkinkan perundingan antara pihak RI dan Belanda. Dalam pandangan Inggris dan Belanda, Sutan Sjahrir dinilai sebagai seorang moderat, seorang intelek, dan seorang yang telah berperang selama pemerintahan Jepang.

Diplomasi Syahrir

Ketika Syahrir mengumumkan kabinetnya, 15 November 1945, Letnan Gubernur Jendral van Mook mengirim kawat kepada Menteri Urusan Tanah Jajahan (Minister of Overseas Territories, Overzeese Gebiedsdelen), J.H.A. Logemann, yang berkantor di Den Haag: "Mereka sendiri [Sjahrir dan Kabinetnya] dan bukan Soekarno yang bertanggung jawab atas jalannya keadaan". Logemann sendiri berbicara pada siaran radio BBC tanggal 28 November 1945, "Mereka bukan kolaborator seperti Soekarno, presiden mereka, kita tidak akan pernah dapat berurusan dengan Dr Soekarno, kita akan berunding dengan Sjahrir". Tanggal 6 Maret 1946 kepada van Mook, Logemann bahkan menulis bahwa Soekarno adalah persona non grata (Orang yang tidak diinginkan-Pen).
Pihak Republik Indonesia memiliki alasan politis untuk mengubah sistem pemerintahan dari Presidensiil menjadi Parlementer, karena seminggu sebelum perubahan pemerintahan itu, Den Haag mengumumkan dasar rencananya. Ir Soekarno menolak hal ini, sebaliknya Sjahrir mengumumkan pada tanggal 4 Desember 1945 bahwa pemerintahnya menerima tawaran ini dengan syarat pengakuan Belanda atas Republik Indonesia.
Tanggal 10 Februari 1946, pemerintah Belanda membuat pernyataan memperinci tentang politiknya dan menawarkan mendiskusikannya dengan wakil-wakil Republik yang diberi kuasa. Tujuannya hendak mendirikan persemakmuran Indonesia, yang terdiri dari daerah-daerah dengan bermacam-macam tingkat pemerintahan sendiri, dan untuk menciptakan warga negara Indonesia bagi semua orang yang dilahirkan di sana. Masalah dalam negeri akan dihadapi dengan suatu parlemen yang dipilih secara demokratis dan orang-orang Indonesia akan merupakan mayoritas. Kementerian akan disesuaikan dengan parlemen tetapi akan dikepalai oleh wakil kerajaan. Daerah-daerah yang bermacam-macam di Indonesia yang dihubungkan bersama-sama dalam suatu susunan federasi dan persemakmuran akan menjadi rekan (partner) dalam Kerajaan Belanda, serta akan mendukung permohonan keanggotaan Indonesia dalam organisasi PBB.
Pada bulan April dan Mei 1946, Sjahrir mengepalai delegasi kecil Indonesia yang pergi berunding dengan pemerintah Belanda di Hoge Veluwe. Lagi, ia menjelaskan bahwa titik tolak perundingan haruslah berupa pengakuan atas Republik sebagai negara berdaulat. Atas dasar itu Indonesia baru mau berhubungan erat dengan Kerajaan Belanda dan akan bekerja sama dalam segala bidang. Karena itu Pemerintah Belanda menawarkan suatu kompromi yaitu: "mau mengakui Republik sebagai salah satu unit negara federasi yang akan dibentuk sesuai dengan Deklarasi 10 Februari".
Sebagai tambahan ditawarkan untuk mengakui pemerintahan de facto Republik atas bagian Jawa dan Madura yang belum berada di bawah perlindungan pasukan Sekutu. Karena Sjahrir tidak dapat menerima syarat-syarat ini, konferensi itu bubar dan ia bersama teman-temannya kembali pulang.
Tanggal 17 Juni 1946, Sjahrir mengirimkan surat rahasia kepada van Mook, menganjurkan bahwa mungkin perundingan yang sungguh-sungguh dapat dimulai kembali. Dalam surat Sjahrir yang khusus ini, ada penerimaan yang samar-samar tentang gagasan van Mook mengenai masa peralihan sebelum kemerdekaan penuh diberikan kepada Indonesia; ada pula nada yang lebih samar-samar lagi tentang kemungkinan Indonenesia menyetujui federasi Indonesia - bekas Hindia Belanda dibagi menjadi berbagai negara merdeka dengan kemungkinan hanya Republik sebagai bagian paling penting. Sebagai kemungkinan dasar untuk kompromi, hal ini dibahas beberapa kali sebelumnya, dan semua tokoh politik utama Republik mengetahui hal ini.

Tanggal 17 Juni 1946, sesudah Sjahrir mengirimkan surat rahasianya kepada van Mook, surat itu dibocorkan kepada pers oleh surat kabar di Negeri Belanda. Pada tanggal 24 Juni 1946, van Mook mengirim kawat ke Den Haag: "menurut sumber-sumber yang dapat dipercaya, usul balasan (yakni surat Sjahrir) tidak disetujui oleh Soekarno dan ketika dia bertemu dengannya, dia marah. Tidak jelas, apa arah yang akan diambil oleh amarah itu". Pada waktu yang sama, surat kabar Indonesia menuntut dijelaskan desas-desus tentang Sjahrir bersedia menerima pengakuan de facto Republik Indonesia terbatas pada Jawa dan Sumatra.

Sumber : Buku Sejarah Nasional Indonesia Karya Marwati Djoened Poesponegoro; Nugroho 
               Notosusanto

(Ditulis Kembali oleh Yadi Suryadi)

Kamis, 02 April 2015

Mengenang kembali Konfilik Indonesia-Belanda (1945-1949) Part 1

Image result for konflik indonesia Belanda (1945-1949)  

Sejarah Indonesia selama 1945—1949 dimulai dengan masuknya Sekutu diboncengi oleh Belanda (NICA) ke berbagai wilayah Indonesia setelah kekalahan Jepang, dan diakhiri dengan penyerahan kedaulatan kepada Indonesia pada tanggal 27 Desember 1949. Terdapat banyak sekali peristiwa sejarah pada masa itu, pergantian berbagai posisi kabinet, Aksi Polisionil oleh Belanda, berbagai perundingan, dan peristiwa-peristiwa sejarah lainnya.

Latar Belakang Terjadinya Kemerdekaan
 
Sesuai dengan perjanjian Wina pada tahun 1942, negara-negara sekutu bersepakat untuk mengembalikan wilayah-wilayah yang kini diduduki Jepang pada pemilik koloninya masing-masing bila Jepang berhasil diusir dari daerah pendudukannya.
Menjelang akhir perang, tahun 1945, sebagian wilayah Indonesia telah dikuasai oleh tentara sekutu. Satuan tentara Australia telah mendaratkan pasukannya di Makasar dan Banjarmasin, sedangkan Balikpapan telah diduduki oleh Australia sebelum Jepang menyatakan menyerah kalah. Sementara Pulau Morotai dan Irian Barat bersama-sama dikuasai oleh satuan tentara Australia dan Amerika Serikat di bawah pimpinan Jenderal Douglas MacArthur, Panglima Komando Kawasan Asia Barat Daya (South West Pacific Area Command/SWPAC).
Setelah perang usai, tentara Australia bertanggung jawab terhadap Kalimantan dan Indonesia bagian Timur, Amerika Serikat menguasai Filipina dan tentara Inggris dalam bentuk komando SEAC (South East Asia Command) bertanggung jawab atas India, Burma, Srilanka, Malaya, Sumatra, Jawa dan Indocina. SEAC dengan panglima Lord Mountbatten sebagai Komando Tertinggi Sekutu di Asia Tenggara bertugas melucuti bala tentera Jepang dan mengurus pengembalian tawanan perang dan tawanan warga sipil sekutu (Recovered Allied Prisoners of War and Internees/RAPWI).

Mendaratnya Belanda diwakili NICA

Berdasarkan Civil Affairs Agreement, pada 23 Agustus 1945 Inggris bersama tentara Belanda mendarat di Sabang, Aceh. 15 September 1945, tentara Inggris selaku wakil Sekutu tiba di Jakarta, dengan didampingi Dr. Charles van der Plas, wakil Belanda pada Sekutu. Kehadiran tentara Sekutu ini, diboncengi NICA (Netherland Indies Civil Administration - pemerintahan sipil Hindia Belanda) yang dipimpin oleh Dr. Hubertus J van Mook, ia dipersiapkan untuk membuka perundingan atas dasar pidato siaran radio Ratu Wilhelmina tahun 1942 (statkundige concepti atau konsepsi kenegaraan), tetapi ia mengumumkan bahwa ia tidak akan berbicara dengan Soekarno yang dianggapnya telah bekerja sama dengan Jepang. Pidato Ratu Wilhemina itu menegaskan bahwa di kemudian hari akan dibentuk sebuah persemakmuran yang di antara anggotanya adalah Kerajaan Belanda dan Hindia Belanda, di bawah pimpinan Ratu Belanda.

Sumber : Buku Sejarah Nasional Indonesia Karya Marwati Djoened Poesponegoro; Nugroho 
               Notosusanto

(Ditulis Kembali oleh Yadi Suryadi)