Iklan

Minggu, 06 Juli 2014

Kisah Lee Soon-sil, seorang Polisi yang “melarikan diri”

Sepintas Lee Soon-sil tampak tegar. Wanita yang lahir di Potonggang, sebuah distrik di Pyongyang, Korea Utara, tahun 1968 itu pernah bertugas sebagai perawat di Tentara Korea Rakyat. Ia bergabung dengan Tentara Rakyat Korea pada tahun 1991 dan dipecat sebelas tahun kemudian. 

Lee tidak menceritakan detil mengapa ia dipecat. Tetapi sebutnya, darah tentara yang mengalir deras di tubuhnya diwariskan kedua orangtuanya. Ayah Lee adalah seorang anggota divisi konstruksi Tentara Rakyat Korea. Ibunya juga seorang tentara. Begitu juga empat saudaranya.

Tapi sekuat dan setegar apapun Lee tak dapat menahan emosi menceritakan kepedihan hatinya berpisah dengan anak perempuannya ketika melarikan diri ke China tahun 2007 silam. 



Hari Senin kemarin (7/10) di kantor Komnas HAM Korsel di Seoul, Lee memberikan keterangan di depan belasan jurnalis asing yang diundang Arirang TV. Lee tidak sendirian. Dua defectors lain, Kim Su-kyung dan Kim Soo-pyeong, juga menyampaikan kisah pelarian mereka. 

Di dalam bahasa Korea, pelarian atau defector disebut talbukja.



Menurut cerita Lee, delapan kali ia berusaha melarikan diri dari Korea Utara sejak dipecat dari dinas militer tahun 1991. 

Pada upaya melarikan diri yang kedelapan ia tertangkap dan dijebloskan ke dalam penjara bersama tahanan politik lain. Di dalam penjara Lee disiksa, bahkan di depan anaknya yang masih kecil. Siksaan yang dia alami tak terbayangkan, kata Lee. belum lagi pelecehan seksual yang dilakukan tentara Korea Utara. Luka akibat siksaan selama di dalam penjara hingga kini masih meninggalkan bekas di punggung Lee. 

"Pengalaman di penjara Korea Utara membuat saya menjadi wanita yang dingin dan sangat depresi dalam empat tahun pertama di Korea Selatan. Kini saya mau bicara kepada dunia tentang apa yang dilakukan Korea Utara kepada kami," demikian Lee.

Lee dan anak perempuannya baru berhasil keluar dari Korea Utara pada upaya kesembilan. Seorang brokermembantu pelarian itu dan membawanya ke China. Di sinilah tragedi lain menimpa. Sang broker menjual Lee dan anaknya secara terpisah kepada penyelundup manusia (human trafficker). 

Perpisahan itu sungguh menyakitkan, tapi Lee tak punya pilihan selain melanjutkan kehidupan dirinya dan anaknya walau harus berpisah. Dia percaya kelak takdir akan mempertemukan mereka.


Ia rajin tampil di layar televisi memberikan kesaksian dalam program "Dalam Perjalananku Bertemu Denganmu" yang ditayangkan Channel A Korea Selatan. Selain di Channel A ia juga kerap diundang NBC dan KBS. Selain itu, Lee juga menjadi bintang iklan makanan hewan peliharaan impor "Chao-chao" dari China. 

Karena itu Lee tidak mengubah penampilan. Rambutnya tetap dibiarkan pendek dan kriting. 



"Semakin sering saya muncul di televisi, semakin besar kemungkinan anak saya melihat saya. Saya harap dia masih hidup dan masih mengingat saya," sambung Lee yang kini memiliki sebuah restoran di Kangreung, Provinsi Kangwon. 



Pelarian dari Korea Utara terjadi tak lama setelah perjanjian gencatan senjata ditandatangani Korea Utara dan PBB sebagai penanda berakhirnya Perang Korea (1950-1953). Sejumlah catatan memperkirakan sejak saat itu antara 100 ribu hingga 300 ribu orang Korea Utara melarikan diri ke Rusia dan China. Sementara sekitar 25 ribu lainnya melarikan diri ke Korea Utara.

Untuk menampung pelarian ini, pemerintah Korea Selatan membangun semacam pusat integrasi atau pendidikan yang dikenal dengan nama Hanawon. Di tempat ini pelarian dari Korea Utara diberi pendidikan dasar selama tiga bulan agar bisa meleburkan diri ke tengah masyarakat Korea Selatan. Hanawon dibuka pertama kali pada 1994. Hanawon kedua didirikan lima tahun kemudian.

Pemerintah Korea Selatan menyebutkan dalam dua tahun terakhir jumlah talbukja yang masuk Korea Selatan berkurang. Hal ini diperkirakan karena pemerintah Korea Utara mempertegas tindakan terhadap orang yang tertangkap saat melarikan diri. Bahkan kalau perlu dieksekusi.

Menurut Lee umumnya pelarian dari Korea Utara menggunakan jasa broker dan misionaris. Bila menggunakan broker mereka harus mau membayar uang jasa. Seringkali ini menjadi utang yang berkepanjangan. Atau, seperti yang dialami Lee, sang pelarian dari Korea Utara itu dijual oleh sang brokerkepada pihak ketiga. 

Sebaik-baiknya menjadi talbukja, menurut Lee, adalah dengan mengikuti misionaris. 

"Orang Korea (Utara) beranggapan, kalau kita mengunjungi gereja, kita akan mendapatkan tempat perlindungan dan makanan. Misionaris inilah yang memberikan bantuan ril," ujarnya lagi. [guh]



Tidak ada komentar:

Posting Komentar